Vivian baru saja selesai dengan pekerjaannya menjaga toko saat jarum jam menunjukkan pukul 21.00 wib. Gadis itu melepas rompi kuning yang ia pakai lalu menaruhnya di meja kecil dekat meja kasir. Seorang wanita paruh baya berdiri diseberang kasir, disampingnya ada seorang pria paruh baya yang setengah rambutnya sudah memutih.
Wanita tua itu berkata. “Biarkan Paman Lee mengantar mu ya, nak? Sudah malam, takutnya tidak ada bus yang lewat."
"Terimakasih Bibi Lee, tapi aku bisa pulang sendiri. Lagi pula bus terakhir datang jam 10 malam nanti, Bibi dan Paman tidak perlu khawatir."
“Ibumu pasti bangga memiliki putri sepertimu.” Tangan keriputnya terulur untuk mengusap kepala Vivian dengan sayang. Gadis itu tersenyum.
Paman dan Bibi Lee adalah sepasang suami istri yang pindah dari Korea Selatan. Keduanya tidak memiliki anak diusianya yang hampir setengah abad, membuat kedua orang tua itu sudah menganggap Vivian sebagai anak mereka sendiri.
Si lelaki tua berkata. "Tunggu sebentar, nak." Pria tua itu berjalan kearah rak makanan, tongkat kayu ditangannya beradu dengan lantai dibawahnya.
Tak lama pria tua itu kembali dengan plastik putih ditangannya. Ia memberikan plastik itu kepada Vivian. “Ah, bawa ini, nak. Kau bisa memakannya di bus nanti."
Vivian menerima plastik itu dan berkata. "Terimakasih Paman Lee. Aku pamit."
Bibi Lee dan Paman Lee : "Hati-hati di jalan."
Selepas kepergian Vivian, Nyonya Lee berkata kepada suaminya. "Andai saja Ji Sung tidak meninggal, dia pasti seumuran dengan Vivian. Aku akan sangat senang jika mereka berdua bisa menikah."
Melihat istrinya yang menangis, Tuan Lee berusaha menenangkan istrinya dengan memeluknya. Tujuh tahun yang lalu putra mereka, Lee Ji Sung meninggal karena kecelakaan. Jika putra mereka masih hidup sekarang, dia seumuran dengan Vivian.
Hal ini juga yang menjadi salah satu alasan keduanya pindah dari Korea ke Indonesia, selain tidak memiliki sanak saudara lagi, dua orang itu juga ingin mengubur kenangan pahit mereka tentang putra kesayangannya.
Beberapa menit menunggu, bus yang ditunggu Vivian akhirnya datang. Gadis iti segera naik kedalam bus itu untuk kembali ke Rumah Sakit. Ia tidak bisa meninggalkan Ibunya terlalu lama. Di perjalanan, Vivian memakan roti yang tadi Paman Lee berikan padanya. Jujur saja perutnya memang sudah kelaparan sejak tadi siang.
Gaji dari pekerjaannya menjaga toko memang tidak seberapa, tapi setidaknya cukup untuk makan sehari-hari. Gadis itu harus bekerja lebih keras lagi untuk mengumpulkan lebih banyak uang untuk pengobatan ibunya.
Melihat keluar jendela, Vivian menghela nafas panjang ketika rintikan hujan kembali turun. Ia sedikit takut kejadian seperti tadi siang terjadi lagi, hatinya berdoa semoga saja ibunya sudah tidur. Itu akan lebih baik.
~H.A.Z.A.R.D~
BRMM… BRMMM…. BRMMM….
Hujan yang turun malam ini tak cukup untuk menghentikan niat orang-orang untuk berkumpul di pusat kota. Semua orang memiliki niat yang sama, yaitu untuk menyaksikan pertandingan balap motor yang di langsungkan sebulan sekali.
Orang-orang saling bersorak untuk jagoan mereka masing-masing dari tepi jalan, banyak pria dan wanita disana. Semuanya melebur menjadi satu.
Seorang wanita berpakaian super sexy berjalan ke tengah arena balap dengan membawa sebuah bendera kecil ditangannya. Wanita itu berdiri di tengah dua pemotor yang akan bertanding malam ini. Pemotor yang satu mengendarai motor besar berwarna merah, sementara yang satunya lagi mengendarai motor besar berwarna hijau bertuliskan 85 dibagaian depannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HAZARD
Ficção AdolescenteMenceritakan tentang sebuah organisasi bernama 'Hazard' dan segala sesuatu yang terjadi di Independent University. "Dewan Hazard itu baik tapi juga jahat disaat yang bersamaan."