1. Selenophile: Satu

2.6K 119 7
                                    

Azera Cordelia Ross berusaha mengingat alasan yang berhasil mendorongnya untuk kembali menjejakkan kaki di desa Avaluna, tanah kelahiran dan tempat di mana ia menjalani masa kanak-kanak dengan kenangan yang tak ada indah-indahnya sama sekali. Seingatnya, ia sudah memutuskan untuk menerima tawaran teman-teman kampus yang mengajak berlibur ke Pantai La Bay. Namun, di sinilah ia berada sekarang, di sebuah rumah reyot dengan dahi yang mengucurkan darah.

Seharusnya Era tidak pulang. Keputusan di luar nalar itu terbukti memberikan alasan kesekian bahwa tak semua orang memiliki kampung halaman yang dirindukan. Ia memang sepatutnya menghapus nama desa Avaluna dari bagian kehidupannya dan melanjutkan hidup dengan sebatang kara.

Di mata Era, ia tak lagi memiliki keluarga sekitar sepuluh tahun yang lalu, tepatnya ketika sang ibu yang bernama Sylvie Blair mengembuskan napas untuk yang terakhir kali. Sylvie meninggal dan dimulailah hidup dengan penuh kemalangan.

Masa kecil Era adalah masa yang menyedihkan, tetapi tanpa adanya Sylvie maka hidupnya berubah jadi neraka. Ia tak lagi memiliki pelindung dan pembela, juga penghibur.

Hari-hari berubah menjadi kiamat tak berujung. Tak ada waktu yang terlewati tanpa adanya ketakutan yang terus mengintai. Air mata telah lama mengering, sebagai gantinya adalah darah yang kerap mengucur dari luka yang berbeda.

Jadilah harapan dan sekelumit mimpi indah yang selama ini didengungkan Sylvie menguap secara perlahan. Mata Era telah terbuka lebar, kenyataan telah membuat ia tertampar. Tak semua orang diberkahi hidup bahagia, sebagian justru harus menjalani masa-masa penuh derita.

Mama mencintaimu, Era.

Menyedihkannya, Era tak bisa meninggalkan dunia begitu saja. Cinta Sylvie terus menggema di dalam kepala setiap ia meneteskan air mata. Diingatnya lagi hari-hari di mana Sylvie mengusap dan membelainya dengan penuh kasih, lalu ia sadar bahwa yang diinginkan oleh Sylvie adalah kebahagiaannya.

Sylvie telah berusaha menjaga Era dengan mempertaruhkan hidup. Tak sepatutnya ia menyia-nyiakan semua pengorbanan Sylvie dan menyerah begitu saja.

Kau kuat, Era. Kau adalah wanita yang kuat. Teruslah bertahan.

Lalu suara lain, entah dari mana asalnya, muncul. Era tak tahu kapan pastinya, tetapi suara itu selalu hadir di waktu yang tepat. Biasanya, ketika keadaan sedang tak baik. Seperti yang terjadi sekitar tiga puluh menit lalu.

Era tiba di desa Avaluna ketika matahari mulai terbenam. Jam masih menunjukkan pukul empat sore dan para penduduk mulai mengakhiri akitvitas. Beberapa dari mereka telah selesai mengumpulkan kayu-kayu di hutan, ada pula yang baru pulang dari kebun, dan tak sedikit juga yang mulai meninggalkan gedung perkantoran. Jadilah keadaan ramai untuk sejenak sebelum akhirnya kembali sunyi bahkan sebelum malam benar-benar menjelang.

Semua orang telah kembali ke rumah masing-masing. Jalanan menjadi lapang lagi. Tak banyak orang yang Era temui sepanjang perjalanan, kecuali mereka yang terpaksa harus tetap bekerja—sebagian harus tetap bertahan di restoran, apotek atau kantor polisi.

Sebagai desa kecil di lereng pegunungan Monte Astralis, Avaluna tak memberi banyak penghiburan untuk masyarakatnya. Penyebabnya adalah iklim yang tak bersahabat. Rasa-rasanya di sana hanya ada dua musim, yaitu gugur dan dingin.

Matahari jarang bersinar. Banyaknya adalah kabut yang menjadi atap. Siang lebih singkat ketimbang malam dan hujan bisa datang kapan saja tanpa terduga.

Tak heran bila banyak penduduk Avaluna yang mulai pergi. Mayoritas dari mereka ingin mencari penghidupan yang lebih layak di kota. Ini bukan hanya soal pekerjaan mengingat pemerintah memberi perhatian khusus untuk mereka yang bertahan, tetapi juga mengenai kualitas hidup yang mereka rasa tak akan bisa didapatkan di desa Avaluna.

The Alpha and Me 🔞Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang