Sorak sorai terdengar begitu membahana sehingga memekakkan telinga. Tepuk tangan dan teriakan menggema di seluruh arena tarung, asalnya adalah para penonton yang duduk memenuhi tribun. Wajah-wajah mereka dipenuhi oleh antusiasme dan semangat. Mata tak berkedip sedetik pun, seolah tak ingin kehilangan satu pun momen aksi yang terjadi di atas arena.
Beragam reaksi pecah di antara kerumunan. Ada yang menahan napas saat kedua petarung saling menyerang dan bertahan dengan sama tangguhnya. Sebagian lagi memperlihatkan ekspresi kekaguman yang begitu alamiah ketika menyaksikan keahlian kedua petarung tersebut. Selain itu tak sedikit dari penonton yang meneriakkan nama mereka berdua demi memberikan semangat.
"Ayo, Alpha!"
"Alpha, teruskan!"
"Ayo, Seth! Jangan mau kalah! Terus berjuang!"
Sontak saja teriakan-teriakan itu terjeda. Para penonton kompak berpaling dan melihat pada satu titik, tepatnya pada sang luna baru mereka, Era.
Era mengacungkan tinjunya setinggi mungkin di udara. Dia persis seperti penonton lainnya, menyaksikan pertarungan itu dengan penuh semangat dan sangat antusias. Namun, bukan itu penyebab sehingga para penonton melihatnya dengan dahi mengerut, melainkan karena bukanlah sang alpha yang disemangati olehnya.
Suara benturan terdengar begitu keras. Salah seorang petarung yang masih berusia dua puluh dua tahun, Seth Cooper, mendarat dengan begitu telak di lantai arena tarung. Dia berusaha untuk bangkit sementara di lain pihak, seorang petarung lagi justru menoleh ke arah penonton. Matanya mendelik sembari berkacak pinggang.
"Bisa-bisanya kau menyemangati Seth?"
Era terhenyak. Sejenak, dia tertegun, agaknya tak mengira kalau dirinya akan dituding pertanyaan semacam itu dengan teramat jelas. Jadilah dia membisu, terlebih karena baru disadari olehnya bahwa semua orang yang ada di sana tengah menatap dirinya dengan ekspresi geli. Bahkan tak sedikit yang mengulum senyum, berusaha untuk tak terkekeh karena reaksi bernada cemburu itu.
"Ehm," deham Era sesaan kemudian. Dia tersenyum walau sedikit kaku. Jadilah dia mengusap tengkuknya demi sedikit menenangkan diri. "A-aku hanya menyemangati guard-ku, Oscar."
Oscar Donovan, alpha dari Kawanan Xylvaneth, menyipitkan mata. "Lalu kau tak kepikiran untuk menyemangati alpha-mu?"
Sontak saja tawa menggema di arena tarung. Semua orang memang mengetahui bahwa Oscar adalah alpha yang ekspresif, semua yang dirasakan olehnya akan tampak jelas di wajah, sikapnya benar-benar menggambarkan isi hatinya, tetapi agaknya mereka tak mengira kalau dia akan benar-benar mengungkapkan kecemburuan dengan begitu gamblang. Jadilah mereka tak heran bila Era akan jadi salah tingkah.
Era kembali mendeham. "A-apa kau ingin aku semangati?"
Oscar memelototkan mata. "Menurutmu?"
"Ehm. Baiklah," ujar Era kemudian sembari tersenyum lebih lebar. Agaknya dia telah menemukan jalan keluar dari situasi itu. "Aku akan menyemangatimu dan Seth secara bergantian."
Lalu tawa pun kembali meledak sementara Oscar hanya mengangguk-angguk penuh arti pada Era.
Era mengangkat kedua bahunya. Kemudian dia membuktikan ucapannya sembari menatap Oscar. "Semangat, Alpha!"
Tawa semakin meledak tak terkira. Bahkan Ursa Waverly—Tetua Suci Kawanan Xylvaneth—yang sedari tadi memilih untuk menyembunyikan senyum pun menjadi tak kuasa menahan lucu. Jadilah dia mendeham beberapa kali sehingga Era pun menoleh padanya.
"Ursa."
Ursa tak bisa berbuat apa-apa. Jadilah dia meraih tangan Era, lalu menunjuk ke arena tarung. "Lihat. Alpha dan Seth akan melanjutkan pertarungan."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Alpha and Me 🔞
WerewolfBuat yang belum dewasa, sangat tidak disarankan untuk membaca! **************** Azera Cordelia Ross pikir hidupnya sudah mencapai batas maksimal kemalangan, tetapi ternyata takdir masih menyiapkan kejutan. Kemarin ia adalah mahasiswi miskin yang me...