19. Psithurism: Sembilan Belas

296 27 2
                                    

Hening malam terasa mencekam. Tanpa suara, bukan kedamaian seperti biasa yang terasa, melainkan ketegangan yang membuat kaku seluruh tubuh.

Tak ada ketenangan. Tak ada ketenteraman. Nyaman dan aman seolah menjadi konsep yang hilang dari ingatan. Semua terlupakan seakan-akan tak pernah ada dan lantas alam bawah sadar pun terusik berkat lahirnya keresahan.

Tidur Era terganggu. Terus saja dia terombang-ambing dalam gelisah tak berkesudahan. Dia mengerang, menggeliat, seolah ingin membebaskan diri dari belenggu tak kasat mata yang terus memerangkap. Namun, dia malah tenggelam dalam jerat yang terus menggenggamnya dengan amat erat.

Era semakin resah. Pergerakan di luar sadarnya benar-benar memperlihatkan kerisauan. Jadilah geliatnya kian tak terkendali, persis seperti tengah berpacu dengan denting jam yang memutar waktu dalam rotasi mendebarkan.

Udara memberat. Angin berhenti berembus. Kesejukan yang sempat ada langsung tergantikan sesak yang menusuk-nusuk.

Suhu pun meningkat. Diciptakannya perangkap panas dengan gelegak yang menggigit. Bara semakin menyala, lalu berkobarlah jilatan-jilatan api yang mengerikan.

Seram mengancam. Sengsara menyiksa. Semua terasa membludak dalam aura intimidasi yang menjanjikan kematian, persis seperti tengah menyiratkan isyarat untuk ketetapan yang telah pasti: tak ada tempat untuk bersembunyi.

Ia akan terus mengejar tak peduli sejauh apa diri berlari. Ia akan terus menyelam tak peduli sejauh apa diri tenggelam. Pada akhirnya, ia tak akan pernah melepaskan hal yang telah digariskan untuk menjadi miliknya—takdir.

Mata Era membuka dengan tiba-tiba. Dia membelalak dengan sorot yang memancarkan kengerian tak terbendung. Napas tersengal, dia terperangkap dalam lingkarang rasa takut tanpa ujung. Dirasakannya ada sesuatu yang mengawasinya walaupun hanya ada dia di kamar.

Era abaikan keringat dingin yang terus mengalir di pelipis. Dia berpaling, melihat pada jendela yang tirainya terbuka. Namun, tak ada apa-apa di sana. Sepanjang mata memandang maka hanya kegelapan yang dilihatnya.

Perhatian Era teralihkan oleh pintu yang terbuka sedetik kemudian. Oscar masuk dengan ekspresi penuh kekhawatiran.

"Ada apa?"

Era menggeleng kaku. "Tidak ada apa-apa. Kupikir, aku hanya mimpi buruk." Sayangnya, dia sendiri ragu dengan hal itu. Jadilah dia tertegun dan menyadari bahwa tak ada mimpi apa pun yang dilihatnya dalam tidur tadi. "Bukan hal besar."

Sebaliknya untuk Oscar. Lagi pula tak sulit untuknya bisa meraba ketidakberesan. Maka dari itu dia pun duduk di tepi tempat tidur. Diraihnya tangan Era sembari menyipitkan mata.

"Katakan padaku."

Era menggigit bibir, lalu tampak kesusahan sendiri ketika ingin bicara. "Aku tak tahu. Aku hanya sedang tidur dan tidak memimpikan apa-apa, tetapi tiba-tiba saja aku merasa takut. Aku ..." Dia memandang sekeliling sebelum kembali berpaling pada jendela. "... merasa seperti sedang diawasi."

Wajah Oscar berubah. "Diawasi?"

"Ya." Era berdecak tak berdaya. Lalu disugarnya rambutnya yang berantakan. "Aku tahu, ini terdengar tidak masuk akal. Lagi pula siapa yang bisa mengawasiku di sini. Ini adalah Istana." Dia mengembuskan napas sekilas, tampak lelah. "Namun, aku merasa begitu. Aku benar-benar tidak tenang dan ..." Dia mendekap dada kirinya. "... jiwa serigalaku juga merasakan hal yang sama."

Oscar meraih tangan Era, lalu meremas jemarinya dengan penuh perasaan. "Aku akan menyuruh Bogy memperketat penjagaan di Istana dan sekitar. Kalau kau merasa diawasi maka itu tugasku untuk membuatmu aman."

Sejujurnya, Era tak ingin membuat orang-orang repot karenanya. Itu adalah sifat alamiahnya yang terbentuk lebih dari dua puluh tahun, pastilah akan susah untuk mengubahnya. Namun, tak ada yang bisa dilakukannya sekarang. Dia benar-benar merasa tak tenang.

The Alpha and Me 🔞Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang