12. Psithurism: Dua Belas

191 28 10
                                    

Era tak akan munafik, dari sekian banyak orang di dunia ini, hanyalah Amias yang tak akan pernah dia harapkan kehadirannya di perayaan wisudanya. Alasannya sederhana, yaitu Amias tidak pernah menjadi ayah untuknya.

Ini bukan persoalan ikatan darah yang tidak dimiliki oleh Era dan Amias. Nyatanya, dia pun tak memiliki hal itu pada Sylvie. Walau demikian jauh di lubuk hatinya yang terdalam, ada sebuah keinginan tak masuk akal yang berkhayal seandainya Sylvie masih hidup. Tentunya Sylvie akan menjadi orang paling berbahagia untuk keberhasilannya hari itu.

Pada dasarnya, perlakuan Amias dan Sylvie yang memberikan perbedaan untuk Era. Bukan hanya Amias tidak pernah hadir di dalam hidupnya dalam sosok ayah yang peduli, memahami, dan melindungi, melainkan sebaliknya. Amias hadirkan sosok ayah yang kejam dan tak berperasaan. Jadilah dirinya kerap disiksa, tubuhnya penuh luka, dan akhirnya, kebencian itu pun tumbuh dengan sendirinya.

Hanya Sylvie yang peduli dan menyayangi Era. Hanya Sylvie yang memberikannya kasih sayang dengan penuh ketulusan. Keberadaan Sylvie menciptakan semangat untuknya. Alhasil dia pun mampu bertahan menjalani hari-hari yang tak mudah dengan satu rasa penasaran ironis. Bisa-bisanya Sylvie yang baik hati memiliki suami kejam seperti Amias.

Era sungguh tak habis pikir. Menurutnya, Sylvie pantas mendapatkan pria lain yang jauh lebih baik ketimbang mengorbankan hidup dengan bersuamikan Amias. Sebabnya, di mata Era atau mungkin orang-orang, tak ada satu pun sifat baik yang Amias miliki. Amias bukan hanya tak bertanggungjawab sebagai seorang pria dan suami, melainkan dia juga kerap menimbulkan masalah yang membuat hidup Era dan Sylvie terus menderita.

Untuk itu Era harus mengakui bahwa satu hal yang paling disyukurinya ketika harus tinggal di Istana dan menjadi bagian dari Kawanan Xylvaneth adalah dirinya bisa terhindar dari Amias. Dia yakin, Amias tak akan pernah bisa menemukan dan mengusik dirinya lagi. Namun, ternyata anggapannya keliru. Nyatanya, sekarang Amias berdiri tepat di hadapannya, di hari wisudanya.

Era tertegun. Tubuhnya membeku seolah butuh waktu bahwa yang mendatanginya adalah Amias. Pikirnya, mungkin saja dia salah melihat dan—

"Wow! Lihatlah! Siapa saja orang-orang kaya yang merayakan hari wisudamu, Era?" tanya Amias sembari menyeringai dengan mata berbinar-binar. Tatapannya sempat mengedar ke sekeliling. Dilihatnya Aaron, Ursa, dan Philo secara bergantian sebelum fokusnya tertuju lekat pada Oscar. Lalu seringainya semakin lebar seiring dengan tangannya yang naik dan menyentuh jas mahal Oscar. "Apakah kau pacar baru Era?"

Ekspresi Oscar berubah. Dahinya mengerut samar. Matanya cenderung menyipit. "Pacar?" Dia berdecih. "Aku bukan pacar baru Era, tetapi—"

Era tak akan membiarkan Amias mengusik Oscar. Sebabnya, tak sulit untuknya menebak isi pikiran Amias sekarang. Jadilah dia langsung menarik tangan Amias dari jas Oscar dan bertanya cepat. "Ada apa kau datang kemari?"

"Era," ujar Oscar sembari berdecak sekilas. "Tunggu sebentar. Sepertinya aku butuh kesempatan sebentar untuk menjelaskan padanya kalau aku bukan pacar barumu, tetapi—"

"Santai, Era." Amias menarik tangannya dari genggaman Era. Lalu dia geleng-geleng dengan kesan meremehkann. "Ini adalah hari wisudamu, hari bahagiamu, jadi tak sepatutnya kau marah-marah begini. Lagi pula bukankah wajar bila seorang ayah menghadiri hari wisuda putrinya?" Dia tersenyum penuh arti. "Aku ingin memberikanmu ucapan selamat walau memang aku lupa untuk membawa bunga untukmu."

Era mengatupkan mulut rapat-rapat sembari meremas buket bunga yang Oscar berikan padanya. Tentu saja dia tahu bahwa ucapan Amias adalah bohong belaka. Sebabnya, Amias memang tak pernah peduli padanya. Amias hanya memedulikan diri sendiri.

"Walau begitu kupikir kau pun tak mengharapkan bunga dariku bukan?" tanya Amias sembari melihat buket bunga yang dipeluk erat oleh Era. "Tadi aku sempat melihat pacar barumu memberikan buket bunga itu padamu." Lalu dia sedikit menundukkan wajah untuk melihat buket bunga itu lebih dekat. Sedikit kebingungan tampak di wajahnya ketika dia menyentuh kilau-kilau bewarna keemasan di mahkota bunga itu. "Apakah ini emas?" tanyanya lagi sembari mengusap serpihan keemasan yang berpindah di ibu jarinya. "Emas asli atau hanya aksesoris?"

The Alpha and Me 🔞Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang