Malam-malam sebelumnya memang berlalu dengan menyiksa. Era selalu gelisah lantaran memikirkan keadaan orang-orang di sekitarnya yang mengalami hal buruk karena dirinya. Namun, setidaknya dia masih bisa tidur walau tetap terbangun dengan rasa lelah. Sebaliknya, sekarang dia bahkan tak bisa memejamkan mata walau hanya semenit saja.
Perasaan Era benar-benar tak menentu. Bahkan kata gelisah, tak tenang, khawatir atau takut tak bisa mewakili perasaannya sekarang. Dia terombang-ambing, terjebak antara gelombang yang terus mencoba untuk menarik ke dalam samudera tak berujung.
Era menyerah. Mencoba untuk tidur adalah hal percuma. Memejamkan mata hanya membuat dia semakin lelah. Alhasil, dia turun dari tempat tidur.
Hanya ada satu hal yang bisa dilakukan oleh Era sekarang, yaitu menyibukkan diri. Dia harus mengalihkan pikirannya. Dia harus menyibukkan diri atau kalau tidak jam di dinding akan meledak karena terus dipandanginya.
Era meraih jubah piama, lalu mengenakannya dengan cepat. Setelahnya, dia keluar dari kamar dan tak terkejut sama sekali ketika mendapati ada Aaron di sana.
"Luna," sapa Aaron sembari melipat koran yang dibaca dan menaruhnya di meja. Lalu dihampirinya Era. "Ada apa? Apakah kau membutuhkan sesuatu?"
Era menggeleng kecil. "Tidak, aku tidak membutuhkan apa-apa. Namun, kurasa aku ingin menemui Ursa."
"Ursa?" Aaron mengangguk dan merogok saku celana, berniat untuk mengeluarkan ponsel. "Baik, Luna."
Era melihat gelagat Aaron dan langsung mencegah. "Kau tak perlu memanggilnya," ujarnya cepat hingga membuat Aaron yang tengah memegang ponsel tampak kebingungan. "Aku akan menemuinya di Paviliun."
Aaron manggut-manggut, tampak paham.
"Jadi, apakah kau bisa menemaniku ke sana, Aaron?"
Aaron mengangguk sembari tersenyum, lalu tangannya bergerak demi menyilakan Era. "Tentu saja, Luna."
Bersama-sama, Era dan Aaron menuju pada bagian belakang Istana. Mereka tiba di Paviliun sekitar sepuluh menit kemudian dan di luar dugaan, ternyata Ursa juga terjaga walau malam telah menunjukkan pukul satu dini hari.
Ursa tampak berdiri di depan Paviliun. Kedua tangannya mengatup di depan dada. Wajahnya menengadah dengan mata terpejam. Dia tengah berdoa.
Lima menit berlalu. Ursa telah selesai berdoa dan dia pun berpaling. Disambutnya kedatangan Era dan Aaron dengan senyuman.
Ursa mengajak Era dan Aaron untuk duduk bersama di teras. Teh dan sepiring camilan tersaji di meja. Mereka menikmatinya walau menyadari bahwa itu tak cukup mampu untuk menenangkan pikiran mereka yang terus bergemuruh.
Era memang tak mengatakannya. Begitu juga dengan Aaron dan Ursa. Mereka sama-sama tak mengatakannya, tetapi mereka pun sama-sama mengetahui keresahan yang tengah bergelut di benak mereka.
"Jadi," ujar Era sembari mengembuskan napas panjang. Ditaruhnya cangkir teh kembali di tatakan. "Apakah kau memang sering berdoa seperti ini, Ursa?"
Ursa tersenyum teduh sembari memegang cangkir teh dengan kedua tangan. Suhu hangat teh menjalari kulitnya, mencoba untuk mengusir dingin malam yang membalutnya. "Lebih dari sering, Luna. Aku selalu berdoa. Aku menjadikan doa sebagai penenang diri. Selain itu, aku pun memiliki banyak hal yang bisa menjadi alasan untukku berdoa."
"Oh." Era melirih samar. Dia tampak manggut-manggut, lalu bertanya. "Jadi, alasan apa yang membuatmu berdoa tadi?"
Pertanyaan tak terduga itu membuat Ursa tampak kesusahan untuk bicara. Namun, pada akhirnya dia menjawab pula. "Aku mendoakan keselamatan Alpha, Luna."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Alpha and Me 🔞
WerewolfBuat yang belum dewasa, sangat tidak disarankan untuk membaca! **************** Azera Cordelia Ross pikir hidupnya sudah mencapai batas maksimal kemalangan, tetapi ternyata takdir masih menyiapkan kejutan. Kemarin ia adalah mahasiswi miskin yang me...