29. Selenophile: Dua Puluh Sembilan

686 55 4
                                    

Era mondar-mandir mungkin sejak satu jam yang lalu. Agaknya dia tak merasakan letih di kedua kaki ketika sekujur tubuhnya dirayapi gelegak emosi. Keinginan untuk mengacak-acak barang Oscar yang ada di kamarnya sempat terbersit di benak, tetapi urung dilakukannya. Sebabnya adalah dia tak ingin melihat kamarnya pun turut berantakan. Bisa-bisa kepalanya menjadi semakin pusing.

Tak ada yang bisa Era lakukan sekarang selain bersabar. Disadari olehnya melampiaskan emosi pada barang-barang Oscar bukanlah hal tepat. Dia yakin, lebih baik bila dia melampiaskan emosinya langsung pada Oscar.

Langkah terhenti. Era melihat pada pintu dan jadilah dia bertanya-tanya, kapan sekiranya Oscar akan datang? Malam nyaris menginjak pukul satu dini hari, tetapi belum ada tanda-tanda kedatangan Oscar.

Era tertegun dengan mata menyipit yang melihat pada pintu. Sedikit keraguan timbul di benaknya. Mustahil bukan bila Oscar tidak datang?

Pikir Era, sungguh tak masuk akal bila Oscar memindahkan barang-barangnya ke apartemennya dan setelahnya justru tak datang. Jadilah dia menggeleng, ditepisnya kemungkinan itu. Tekadnya sudah bulat, dia akan menunggu kedatangan Oscar dan meluapkan semua emosinya.

Era kembali mondar-mandir dan terus menggerutu. Diabaikan olehnya kantuk yang sempat membuat dirinya menguap beberapa kali. Dia telah berjanji pada diri sendiri bahwa tak akan tidur sebelum Oscar datang.

Kaki Era berhenti melangkah. Insting membuatnya langsung berpaling ke pintu. Dia menunggu dan pintu pun terbuka. Oscar masuk dan pandangan mereka bertemu dengan serta merta.

"Era."

Era membuang napas dan menatap Oscar. "Akhirnya kau datang juga, Oscar. Aku sudah menunggumu dari tadi."

"Menungguku?" tanya Oscar sambil datang mendekat. Acuh tak acuh, ditaruhnya tas kerja di sofa. "Jadi, kau belum tidur semalam ini karena menunggu kedatanganku."

Era mengangguk dengan penuh arti. "Tentu saja. Aku tidak akan tidur sebelum kau datang."

"Wow!" Oscar terkesiap dengan ekspresi syok yang positif. Matanya tampak berkilat dan sorotnya berbinar-binar. "Aku tak mengira kalau kau merindukanku sedalam itu, Era."

Bola mata Era membesar. "Siapa yang mengatakan kalau aku merindukanmu?" tanyanya geram. Lalu dia menunjuk kamarnya. "Aku butuh penjelasanmu sekarang, Oscar. Apa maksud itu semua?"

Oscar berpura-pura tak mengerti untuk sesaat. Jadilah mata Era kian membesar dan dia sempat mengira bila bola mata Era akan melompat keluar. Dia mendeham, mencoba untuk menahan tawa, lalu menggaruk pelipis ketika mulai bicara.

"Well. Seperti yang kau lihat. Ada beberapa barangku yang pindah ke apartemen ini, tepatnya pindah ke kamarmu."

Era menarik udara sebanyak mungkin. "Oke dan bisa kau jelaskan padaku, mengapa barang-barangmu bisa pindah ke apartemen ini, tepatnya pindah ke kamarku?"

Oscar menyerah. Jadilah tawanya menyembur dan Era melongo melihatnya.

"Bisa-bisanya kau malah tertawa, Oscar?" Era menggeram kesal, lalu diputuskannya untuk beranjak dari sana. Dia pergi dengan langkah kasar. "Sesukamu saja."

Tawa Oscar berhenti seketika. Saat dilihatnya Era pergi maka dia pun turut beranjak dari sana. Dia menyusul Era ke kamar dan di waktu yang tepat pintu kamar tertutup tepat di depan wajahnya.

Oscar mengerjap. Untung saja dia tak lanjut melangkah di waktu yang tepat. Bila tidak maka bisa dipastikan pintu itu sudah menghantam hidungnya. Jadilah dia membuang napas panjang sebelum masuk.

Mata Oscar langsung menemukan keberadaan Era yang duduk di tepi tempat tidur. Kedua tangan Era bersedekap di dada dan tatapannya tampak tajam menghunjam padanya.

The Alpha and Me 🔞Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang