9. Psithurism: Sembilan

231 24 5
                                    

Philo tidak heran sama sekali mendapati Oscar gelisah sepagi itu mengingat peristiwa yang terjadi semalam, yaitu ada seseorang yang berusaha untuk mencelakai Era—lagi. Akibatnya, bisa dikatakan sekarang Oscar uring-uringan walau sebenarnya hal tersebut tak akan pernah menjadi masalah serius mengingat seseorang itu hanyalah manusia biasa, terlebih karena Seth pun selalu mengawal Era setiap saat.

Walau begitu Philo bisa memaklumi kekhawatiran Oscar. Dia paham betul bahwa reaksi Oscar adalah hal lumrah yang pasti akan dialami oleh setiap pria serigala yang telah berpasangan. Maka dari itu sekarang yang menjadi prioritasnya adalah menenangkan emosi Oscar. Sebabnya, dia tak ingin gejolak emosi mendorong Oscar mengamuk di kantor dengan tiba-tiba dan mengadakan rapat dadakan yang pastilah akan membuat semua orang gempar. Dia ingat, terakhir kali Oscar bertindak demikian maka seisi kantor menjadi kelabakan karena semua proposal kerja sama yang telah disetujui pun menjadi ditinjau ulang.

"Ternyata benar dugaanku."

Philo baru saja memikirkan beberapa topik yang dikiranya aman untuk menjadi pembicaraan pagi itu. Namun, di luar dugaan, ternyata justru Oscar yang bicara duluan. Jadilah diangkatnya wajah dan dilihat olehnya Oscar yang sedang menatapnya dengan dahi berkerut.

"Apa, Alpha?"

Oscar mendeham sembari geleng-geleng. Lalu ditunjuknya Philo dengan garpu. "Ternyata sarapan dengan melihat wajah Era memang jauh lebih menyenangkan ketimbang melihat wajahmu, Philo."

Philo terbatuk. "A-Alpha."

Di lain pihak, Aaron justru tak mampu menahan senyum geli dan malah mengangguk. Jadilah Philo menatapnya dengan ekspresi melongo sementara Oscar malah membesarkan mata.

"Kau juga sependapat denganku, Aaron. Bukankah begitu?"

Senyum geli Aaron semakin tak terkendali. "Sepertinya memang begitu, Alpha."

"Dugaanku memang tak pernah meleset," ujar Oscar kembali sembari meraih minum. Tatapannya masih tertuju pada Philo. "Kau jangan tersinggung, Philo, tetapi entah ini perasaanku saja atau memang begitulah kenyataannya. Terkadang ekspresi dan sorot matamu itu membuatku tak nyaman sama sekali, seolah-olah mengisyaratkan bahwa kau tengah memikirkan pekerjaan apa lagi yang harus kulakukan."

Kali ini geli yang dirasakan oleh Aaron tak cukup menunjukkan diri hanya dengan seuntai senyum, melainkan kekehan refleks yang tak mampu ditahan. Demikian pula dengan Ursa yang sedari tadi memutuskan diam saja, ujung-ujungnya sontak mendeham demi menenangkan hasrat tawa yang bergejolak. Di lain pihak, Dom justru tak merasa perlu untuk menyembunyikan gelaknya ketika Philo mengerang syok.

"Alpha."

Oscar mengangkat pundak sekilas. "Jangan salahkan aku, Philo. Sebaliknya, cobalah kau sering-sering becermin dan melihat ekspresi wajahmu itu." Dia berdecak. "Aku tak heran mengapa tak ada wanita yang mendekatimu. Kau tampan, tetapi ekspresimu persis pria yang terlilit utang," ucapnya sehingga membuat tawa semakin pecah. Jadilah dia berpaling pada Dom. "Sebagai orang baru di Istana, tidakkah kau melihat kebenaran dari ucapanku, Dom?"

Dom buru-buru berhenti tertawa dan mendeham. Diabaikannya tatapan Philo, lalu mengangguk. "Aku yakin bahwa Alpha memang tak pernah salah dan aku telah membuktikannya."

"Lihat, Philo?" Oscar tersenyum penuh rasa kemenangan. "Bahkan Dom pun sependapat denganku," ujarnya sembari mengacungkan jempol pada Dom. "Aku senang berhasil mendapatkan seorang gamma yang bijaksana."

Philo terdesak dan tak bisa membela diri sama sekali walau memang bukan berarti dia akan menanggapi serius pembicaraan pagi itu. Pikirnya, mungkin menumbalkan diri adalah pilihan tepat. Mungkin saja itu bisa menjadi pengalih pikiran sehingga Oscar tak terus-menerus memikirkan Era dengan suasana hati yang buruk.

The Alpha and Me 🔞Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang