dua belas

101 7 0
                                    

Malam harinya keluarga Nicolaas mengadakan makan malam seperti biasa. Indira sudah mengikuti makan malam bersama keluarga ini sebanyak dua kali, suasana kekeluargaan dari mereka cukup membuat Indira merasa nyaman. Sebab, selama ini ia selalu melakukan semuanya sendirian. Dia memang memiliki kekasih, tapi Indira dan Marco tidak selalu bersama. Indira sendiri selalu memberikan batasan-batasan tertentu untuknya dan Marco, itulah sebabnya kadang ia selalu sendirian. Ia pernah menegaskan kepada Marco kalau ia hanya ingin hidup mandiri layaknya mahasiswi pada umumnya.

Memiliki hubungan dengan anak seorang pengusaha resort di negara kincir angin ini terkadang membuat Indira tidak menyaman, untuknya yang bertekad menjadi wanita karir, dimanja oleh pasangan termasuk salah satu hal yang tidak masuk dalam listnya, dimajakan dalam hal (apapun yang aku inginkan akan Marco belikan) ya, Indira tidak menyukai itu. Kalau saja Marco membelikan sesuatu tidak berlebihan, mungkin Indira akan senang menerima barang yang pria itu berikan. Sebenarnya Marco hanya mahasiswa pada umumnya di kampus yang sama dengannya. Saat awal berpacaran dengan Marco pun Indira tidak pernah tahu kalau kekasihnya itu dari kalangan elit dan kemudian saat identitas asli Marco terbongkar, pertengkaran besar mereka meledak begitu saja untuk yang pertama kalinya.

Indira menggeleng, ia keluar lagi dari kamarnya pada pukul 11.23PM. Pemikiran tentang Marco selalu berkeliaran di otaknya sedari sore tadi saat pertama kali ia menerima ponselnya. Daya ponsel yang sudah kembali terisi penuh tidak membuat Indira menggerakkan jemarinya untuk memberi kabar kepada Marco, sebaliknya gadis itu justru melempar ponselnya dan kemudian beralih untuk keluar kamar.

Ia meregangkan tubuh, berjalan melewati lorong yang cukup remang. Mungkin para penghuni rumah ini sudah tertidur lelap.

Sembari mencepol rambutnya, Indira menekan saklar yang menempel di tembok tangga. Seketika ruang tengah dan dapur menjadi terang benderang. Indira terjengit saat melihat dua sejoli tengah bergelun mesra di atas sofa ruang tengah dengan televisi yang menayangkan film romance.

Sial! Merusak pemandangan aja!

Gerutunya kesal sambil terus melanjutkan jalan menuju pantry. Tenggorokanya haus sekali rasanya, daripada ia mati dehigrasi karena malas meladeni dua sejoli itu, mending Indira langsung berjalan ke pantry tanpa menoleh ke ruang tengah.

Dari sekian banyaknya ruangan di rumah ini, sedari Indira datang, hanya pantry yang paling sering dikunjunginya.

“Oh, Dira! Kamu belum tidur?” tanya Nicolaas yang kebetulan menoleh saat tiba-tiba lampu utama dinyalakan.

Liat pake mata mu aja lah! Pake tanya!

Tidak-tidak, Indira tidak akan menjawab seperti itu kepada Nicolaas. Gadis itu tersenyum menghadap Nicolaas, ia berhenti sejenak untuk menyapa dua sejoli itu, yang entahlah Irina selalu menatapnya kesal seperti itu membuat Indira hampir saja memutar bola matanya.

“Ya,” ia mengendik. “Belum terlalu larut untuk segera tidur.”

“Jangan tidur terlalu larut, bukankah jadwal mu padat?” respon pria itu.

“Ya, sedikit.” Indira tersenyum sembari telunjuknya menunjuk pantry. “Aku pergi dulu. Lanjutkan saja kegiatan kalian itu.”

Sebelum benar-benar melangkah pergi, Indira sempat menangkap ekspresi sangat tidak suka dari Irina. Bahkan perempuan itu tiba-tiba membuai Nicolaas dengan cumbuan posesif tepat setelah Indira menatap mata Irina.

Indira membuang muka, merotasikan matanya geli melihat tingkah kekanakan kekasih Nicolaas itu.

“Dikata aku bakal cemburu kali, ya?” ucapnya setelah sampai di ambang pantry.

Hello in NetherlandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang