dua puluh satu

79 6 5
                                    

Indira mengotot berkata sudah sehat saat Nicolaas memberi tahu bahwa pria itu sekarang akan ada pertandingan bola melawan klub lain. Dia mengotot sekali hingga Nicolaas yang duduk di kursi sampingnya memijat pelipis.

Bukan tanpa alasan Indira mengotot seperti itu. Nicolaas akan bertanding pasti pria itu tidak akan ada di sini lama, Sorayma juga sudah kembali bekerja, astaga, teman-temannya ternyata sibuk dan sangat tidak bisa diandalakan. Toh ia merasa tubuhnya sudah lumayan enakan, menonton pertandingan Nicolaas sepertinya tidak buruk daripada ia hanya melamun di dalam kamar inap saja menunggu pria itu menjemputnya pulang setelah selesai bertanding. Setelah menginap tiga hari di rumah sakit ini akhirnya dokter memperbolehkan Indira untuk pulang.

“Nic, apa yang kamu khawatirin? Aku udah bisa jalan kok!” ia turun dari ranjangnya, berjalan-jalan kecil memperlihatkan kepada Nicolaas.

Indira tersenyum bangga, “Tuh, bisa 'kan?”

Nicolaas mengangkat wajah, menatap Indira, “Kamu baru boleh pulang, masa mau langsung menonton pertandingan bola? Menonton bola itu lama, lho, satu jam setengah memangnya kamu kuat duduk di tribun dengan cuaca beku dan tubuh baru sembuh seperti itu?”

“Nggak masalah kok. Aku dulu udah sering nonton bola.”

“Di tribun yang beku seperti ini?”

Indira menggeleng, “Di rumah sambil duduk di atas kasur.” jawabnya cengengesan.

Nicolaas melotot, mengusap kasar wajahnya, “Berbeda, Indiraa!” desahnya merasa gemas sendiri.

“Ayolah, Nic! Aku bosan tau sendirian begini! Kalau aku menunggu mu pulang dan aku masih menginap di sini rasanya sepi sekali..”

“Tolong pikirkan kesehatan kamu sendiri, Indira!”

Indira memberengut, duduk di atas kasur berhadapan dengan Nicolaas yang masih duduk di kursinya. Ia bersidekap, “Aduh, Nicolaas! Aku udah mikirin kesehatan ku sendiri kok, makanya aku pengin ikut kamu!”

Indira ternyata sangat pandai mendebat, alhasil Nicolaas hanya mampu menghela nafas, “Pengunjungnya sepi, Indira. Suhu udara bisa membuat kamu beku lagi. Kapan-kapan sajalah menontonnya, ya?”

“Nicolaas, aku ini belum pernah menonton di tribun. Aku cuma ingin merasakan aja kok gimana rasanya nonton langsung di tribun,” Indira mendesah, “Kapan lagi 'kan aku bisa menonton langsung begini, siapa tau besok aku udah nggak di Belanda lagi..” cicitnya melirih di akhir kalimat.

Nicolaas memicing, “Memang kamu ingin kemana?”

Indirs mengendik, “We never know, Nic. Kewarganegaraan ku 'kan Indonesia, aku bisa pulang kapan aja kesana.”

“Kamu berniat pulang?”

Lho? Ya iyalah! Aku di sini 'kan cuma study, Nic.”

Nicolaas menggaruk alisnya canggung, “Ah, benar juga.”

Jemari Indira meraih kemeja Nicolaas bagian siku, menarik-narik kemeja itu sampai Nicolaas menengok memandangnya aneh.

“Boleh ya, ya, ya? Boleh, ya? Nic, please?

Nicolaas mendesah, ia berdiri untuk mengambil padingnya yang seperti biasa ia sampirkan di sandaran sofa, mendatangi lagi Indira sambil memakai padingnya. “Ya sudah, baiklah, ayo!”

Indira tersenyum girang, melompat dan bertepuk tangan memperlihatkan kesenangannya atas izin yang diberikan Nicolaas. “Ayo!”

“Kekanakan sekali.” dengus Nicolaas tapi bibirnya tertarik melengkung tipis,

Hello in NetherlandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang