Indira langsung pergi menuju rumah Melissa setelah pesawatnya mendarat. Dia memang tidak pernah datang ke rumah Melissa, tapi untungnya perempuan itu pernah memberikan alamat rumahnya, Melissa dulu memberikan alamat rumah itu sambil berkata,
“Siapa tau nanti kamu mau dateng ke rumah aku.”
Indira tersenyum sendu, netranya sudah saking lelahnya sampai tidak lagi bisa mengeluarkan air mata.
Iya, dan aku sekarang beneran ke rumah kamu... tapi kamu udah nggak ada...
Netranya mengerjap, menatap rumah bergaya american classic berwarna dominan putih ada di hadapannya berdiri dengan megah. Rumah itu ramai, ramai karangan bunga bertuliskan bela sungkawa.
Indira tergugu tak sanggup. Ia memalingkan wajah dari karangan bunga yang berjejer bertuliskan nama Melissa. Tangannya terkepal erat, dadanya sesak lagi dengan nafas yang tak beraturan. Rasanya sangat marah, ia marah pada semuanya. Netranya yang sembab menatap pintu utama rumah yang tertutup, susana rumah ini tak hidup.
Ia menghela nafas, mencoba berjalan sekuat tenaga menapaki jalan dengan tertalih. Indira terkekeh dalam hatinya, baru beberapa hari kemarin ia bertemu Melissa, menemani perempuan itu, membuatkannya coklat panas, dan pertengkaran itu awal dari semua ini. Tapi, coba lihatlah sekarang! Melissa mengakhiri semuanya dan Indira menjadi manusia yang sangat-sangat bersalah disini. Dia tahu Melissa tak sanggup sendiri, tapi justru ia yang terakhir meninggalkan Melissa, bahkan sampai detik-detik kehidupan Melissa pun Indira tak tahu menahu tentang keadaan memprihatinkan yang Melissa alami, dia tidak bisa memahami Melissa.
Indira memberanikan diri menekan bell. Ia terdiam sejenak menunggu pintu dibukakan. Tak sampai lama kemudian seorang wanita berumur pertengahan empat puluh muncul di depan pintu, menatap Indira bingung.
Sepersekian detik Indira tak dapat bergeming. Di hadapannya berdiri ibu dari Melissa, terlihat dari wajah wanita itu yang sangat mirip dengan Melissa. Dadanya kembang kempis menahan sesak. Dia melihat langsung ibu Melissa, wanita itu memiliki netra yang lebih-lebih sembab darinya membuat jemari Indira semakin terkepal.
Aku yang salah di sini..
“Kamu siapa, ya?”
Indira mengerjap, menoleh cepat dari lamunannya. Ia menghela nafas dalam, “Saya Indira, teman Melissa di Belanda.”
Tak selang beberapa detik, pandangan wanita itu berubah, entah Indira tak dapat mengartikannya sebagai tatapan apa.
“Kamu Indira Prisa?” diangguki oleh Indira.
“Berarti kamu adalah teman yang sering anak saya ceritakan,” jeda wanita itu. “Langsung saja, saya tidak suka basa-basi. Apa kamu tahu sebelumnya kalau Melissa hamil?” tanya wanita itu langsung.
Indira tertegun tak tahu harus menjawab apa. Ia terdiam cukup lama, tak bergeming bagai patung. Jemarinya bergetar, jantungnya terpompa jauh lebih cepat. Ia takut.
“Jawab saya!” ucap keras ibu Melissa.
Indira terkesiap. Menatap lamat sebelum akhirnya membuang nafas berat, “Ya. Saya tau.”
Pandangan wanita itu berubah dingin dan Indira menyadarinya.
“Kenapa kamu tidak memberitahu? Kamu tahu karena ini semua anak saya meninggal! Karena kamu menyembunyikannya! Kamu pikir kamu siapa?! Melissa itu anak saya! Saya berhak tahu semua tentang dia! Kamu tahu? Saya harusnya sejak awal menyingkirkan bayi itu supaya Melissa masih tetap hidup, sialan!!” umpat ibu Melissa bertubi-tubi. Wajahnya amat memerah marah.
Rahang Indira mengeras, “Pilihan saya tidak memberitahu siapa pun karena anda pasti akan membunuh bayi tidak bersalah itu.” tangan Indira terkepal, dia berucap dengan nada bergetar. Melissa benar tentang apa yang akan dilakukan oleh orang tuanya dan Indira mendengar itu secara langsung di hadapannya, sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello in Netherland
Chick-LitSebuah pertemuan adalah ikatan takdir dan Indira Prisa mempercayainya. Sampai akhirnya pertemuan berkali-kali dengan Nicolaas Sebastiaan menyadarkan Indira bahwa mungkin mereka terikat benang merah yang kuat. start : 01/01/24 end : 20/01/24 A cover...