tiga puluh empat

72 6 0
                                    

Kepergian Melissa cukup membuat Indira sampai harus rutin mendatangi psikolog selama tiga bulan terakhir ini, keterpurukan dan rasa bersalahnya perlahan seolah membunuh dirinya sendiri. Indira memang tidak pernah memiliki keinginan untuk bunuh diri, tapi perasaan sesak yang selalu hinggap di hatinya seolah membunuh ia perlahan-lahan. Ia depresi. Indira sampai harus melakukan beberapa terapi untuk menyembuhkan depresinya dan karena kesetresan itu akhirnya ia jauh menjadi manusia yang sangat egois, merasa seolah-olah dia adalah manusia paling menyedihkan di dunia ini dan merasa tidak ada orang lain yang bisa mengerti dirinya.

Indira menjauh dari keluarganya, hanya menangis sepanjang hari dan mengurung diri di dalam kamar. Menyalahkan dirinya sendiri, tak mendengarkan ucapan orang-orang. Indira merasa menjadi manusia paling hancur di dunia, saat itu.

Dia menghela nafasnya tenang, mendorong kakinya sendiri di atas tanah supaya ayunan yang ia naiki bisa berayun. Menatap permadani semesta yang terbentang indah di atas sana,

Kamu pasti bisa liat aku dari atas sana, ya, Mel?

Indira tersenyum pahit. Beberapa hari ini ia sudah bisa mengendalikan tangisannya. Kini Indira jadi lebih pasrah menghadapi segalanya, ia selalu berdoa supaya ia bisa mendatangi Melissa di Kolumbarium, supaya orang tua Melissa memberinya izin untuk itu.

Netra gadis itu melirik penuh minat pada pesawat terbang yang melintasi permadani semesta, menatap lamat sampai sudah tak terlihat.

Jangan-jangan itu pesawat yang bawa balik pemain keturunan?

Netra Indira meluruh, teringat ucapan bundanya tadi malam tentang Nicolaas. Kata bundanya, Nicolaas bermain untuk timnas Indonesia malam tadi. Kalau boleh berkata jujur, Indira merindukan pria itu. Tinggal cukup lama berdampingan dengan Nicolaas membuat Indira memiliki ketergantungan dengan pria itu, hal kecilnya adalah seperti saat ia meminta Nicolaas menyicipi kue buatannya. Ya, mereka cukup dekat memang, apa lagi setelah kejadian Marco waktu itu, Nicolaas benar-benar menjaganya. Tapi kembali lagi, semua perlakuan Nicolaas membuat Indira banyak tak yakin. Tak yakin dengan perasaannya sendiri. Nicolaas selalu memperlakukannya dengan baik, tapi pria itu tak melakukan apa pun atau menyatakan apa pun tentang perasaannya, jadi membuat Indira tak ingin berharap lebih.

Tiba-tiba ia teringat tentang percakapannya dengan Nicolaas sehari sebelum pria itu tanding. Indira waktu itu berjanji akan menonton, tapi pada kenyataannya ia justru mengingkari janjinya sendiri.

Mungkin Nicolaas kecewa kepadanya karena itu, tapi sepertinya tidak akan membuat Nicolaas sampai kehilangan karena ia bukan siapa-siapa untuk pria itu. Hahh, Indira mendecak saat mendengar pemikirannya sendiri.

Ia mendesah, menghentikan ayunannya. “Kepergian ku pasti nggak berarti apa pun buat Nicolaas.”

Indira sudah mencoba beberapa cara untuk melupakan pria itu, mencoba untuk tidak memikirkannya setiap detik, tapi semuanya menjadi sia-sia. Indira hanya akan menangis saat akhirnya ia gagal lagi untuk menghilangkan Nicolaas dari kepalanya. Dia sudah banyak denial, ia sudah banyak menipu dirinya sendiri. Ia tahu sebenarnya ia menyukai Nicolaas, tapi ada beberapa alasan yang membuatnya enggan mengakui itu. Nicolaas dan dirinya berbeda, pria itu sangat bersinar, sedangkan Indira hanya seorang mahasiswi biasa yang kebetulan dengan nekat membantu Nicolaaa saat itu.

Diantara dua orang saling melupakan, pasti akan ada salah satunya yang berpura-pura..

Mungkin ucapan itu benar adanya, tentang dia yang hanya berpura-pura dan Nicolaas yang betulan melupakannya.

“Saya di sini. Saya di sini, Indira.”

“Mengadulah. Saya di sini, Indira. Bersandarlah kepada saya. Saya di sini untuk mu.”

Hello in NetherlandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang