sembilan

122 8 0
                                    

“Aku rasa tadi benar-benar hal gila yang pertama kali aku lakukan seumur hidup ku,” Indira melirik Nicolaas yang terantuk-antuk menahan sakit dalam papahannya. Ia mengendik, “Asal kamu tau.”

Nicolaas mengangguk di sela-sela rintihnya, tersenyum menatap Indira. “Saya tahu.”

“Oh, ya?” alis Indira terangkat, merasa tertarik dengan respon yang diberikan Nicolaas.

“Saya sangat berterimakasih kepada kamu, Dira. Kamu sudah banyak membantu saya,” Nicolaas mengerling. “Pertama kali menyetir?”

Indira melirik getir, tiba-tiba teringat saat mobil yang tadi ia bawa menabrak tembok saat menikung di belokkan. Astaga, pasti mobilnya penyok, mana benturannya keras sekali. Indira mendesah dalam hati, merutuki kecerobohannya.

“Itu ...” Indira terbata melirik Nicolaas, ternyata pria itu pun tengah menatapnya membuat Indira langsung mengalihkan pandangan berpura-pura tidak melihat. Dia menunduk, tak ada nyali bersitatap dengan Nicolaas. “... itu mobil kamu, ya?” cicitnya pelan.

“Iya.” ringan sekali Nicolaas menjawab.

Melihat dari bagaimana respon Nicolaas yang terlihat santai, sepertinya pria itu tidak mempermasalahkan mobilnya yang hampir tidak berbentuk di bagian lampu depan. Kalau dilihat-lihat kini mereka lebih terlihat seperti orang habis kecelakaan daripada korban pengeroyokan.

Goedenavond [1], ada yang bisa saya bantu?” seorang pegawai kepolisian menyapa mereka saat keduanya sampai di dalam ruangan. Beberapa petugas polisi yang berjaga memerhatikan keduanya, datang dengan babak belur tentu banyak yang penasaran apalagi hari sudah semakin larut.

Goedenavond.” sapa Indira.

Melihat keadaan Nicolaas tidak baik-baik saja, salah satu petugas polisi yang berjaga menyuruh mereka duduk.

Indira tersenyum, memapah Nicolaas, membantu pria itu menyamankan diri.

“Kami korban penyerangan, Sir,” Indira tersenyum sesaat ke arah petugas polisi. “Sebenarnya saya hanya membantu,” melirik Nicolaas. “Dia korbannya.”

Petugas polisi itu mengangguk-angguk, dua polisi yang bertugas kemudian menanya-nyanyai Indira mengenai kejadian sebenarnya, tak luput pula segala hal yang diceritakan Nicolaas menjadi bahan catatan mereka. Indira beberapa kali menambahi karena ia disini ditempatkan sebagai saksi. Menggigit bibirnya cemas, Indira baru teringat kalau ia baru saja menyakiti empat orang sekaligus. Menghela nafas berat, Indira berdoa supaya orang-orang tadi tidak sekarat dan membuatnya masuk penjara.

“Nona Indira, tolong ceritakan dari sudut pandang anda.” ucap salah satu petugas polisi sambil memegang buku catatan. Polisi yang lain tengah mengecek cctv dekat tempat kejadian.

Indira mengangguk tegas, cara duduknya menjadi lebih tegap sebelum memulai ceritanya.

“Saya baru pulang, tadi, naik trem. Kebetulan apartement saya tidak jauh dari tempat kejadian,” Indira melirik Nicolaas. “Saya dan Nicolaas tinggal di gedung yang sama. Kebetulan karena saya rasa hari sudah mulai larut, di persimpangan jalan akhirnya saya memutuskan untuk memilih jalan pintas,” jeda sejenak. “Biasanya jalan itu lenggang dan sunyi, saya biasa melewatinya dan tidak pernah ada masalah. Malam ini saat saya melewati jalan itu, saya melihat ada seseorang dikeroyok. Awalnya saya enggan membantu, tapi saya takut menyesal jadi akhirnya saya putuskan untuk membantu—”

“Anda membawa senjata?” sela petugas polisi.

Indira mengangguk, “Saya selalu membawa belati atau pisau lipat di tas saya, pepper spray juga. Saya bawa karena saya butuh untuk berjaga-jaga. Karena saya rasa saya punya perlengkapan yang cukup mumpuni, akhirnya saya melawan. Saya tikam salah satu pelaku dari belakang ...” Indira terus bercerita sampai hal terdetail sekalipun, termasuk dengan kelakuannya menendang alat inti si pelaku membuat polisi yang bertugas mencatat menatap Indira agak ngilu.

Hello in NetherlandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang