tiga puluh lima

72 6 0
                                    

Nicolaas terus memandang Indira meminta penjelasan atas ucapan gadis itu.

“A-aku nggak bisa. Kita nggak bisa bersama.” ucap Indira terbata.

Nicolaas memandang Indira tidak percaya, “Tapi kenapa? Kamu tidak mencintai saya?”

“Aku nggak pernah bilang hal yang sama buat kamu. Kamu cuma terlalu percaya diri menyimpulkannya. Kamu menyimpulkannya sendiri, Nic. Kamu menyimpulkan aku mencintai mu.”

Indira dapat melihat sorot kecewa dalam netra pria itu membuatnya memalingkan wajah merasa tak sanggup melihatnya.

“Indira?”

“Aku pergi karena masa ku udah selesai di Belanda. Kamu orang baik, Nic, dan kamu pun tau kalau aku juga begitu. Aku hanya memanusiakan manusia. Kamu terlalu jauh menyimpulkan semuanya.” ucap Indira sebelum melangkah pergi meninggalkan Nicolaas yang mematung tak bergerak di depan ayunan. Tampaknya pria itu sangat terkejut sampai tidak melakukan apa pun untuk mencegah kepergian Indira.

Indira berlari, mengusap air matanya yang sudah bercucuran. Jujur saja ia tak sengaja mengatakan itu, Indira merasa tidak pantas ada di samping Nicolaas dan cara satu-satunya untuk menjauh dari Nicolaas adalah dengan mengatakan itu. Indira berlari secepat yang ia bisa menuju rumahnya sebab jarak rumah dan taman yang tadi tidak terlalu jauh. Dia langsung menerobos masuk ke dalam kamar saat sudah sampai di rumah.

Indira menjatuhkan tubuhnya di atas kasur dengan posisi tengkurap, ia menangis tersedu-sedu.

“Ik hou van jou (aku mencintai kamu).”

Sepintas tatapan mendamba Nicolaas terputar apik di ingatannya.

“Tapi kenapa? Kamu tidak mencintai saya?”

Dan kemudian bayang-bayang suara bergetar dan kecewa Nicolaas kembali terdengar.

Indira mencintai pria itu. Sangat mencintainya. Tapi, ia punya alasan untuk menolak Nicolaas.

Ia menangis tersedu sampai harus menggigit jarinya sendiri supaya isakannya tidak tersengar sampai luar. Indira memiringkan tubuh, berganti posisi menjadi meringkuk.

“Saya sudah membantu,” menunjuk bunga yang ada di depan Indira. “Itu saya bantu turunkan, karena kamu tidak bisa menggapainya. Saya berkonstribusi cukup banyak disini.”

“Saya tau kamu suka itu,” Nicolaas menuding susu kotak yang sudah bepindah tangan ke Indira. “Biasanya itu jatah saya, tapi tadi saya sudah minum, dan yang itu buat kamu.”

“Jangan menangis terus, mata kamu sudah seperti disengat lebah.” Nicolaas terkekeh,

Otaknya dengan lancang memutar segala momentnya bersama Nicolaas, menunjukkan seberapa bahagiannya mereka dulu saat sebelum Indira memutuskan untuk pergi.

“BAJINGAN!!” teriak Nicolaas, amarahnya sudah memuncak.

Nicolaas berlari mendekati pria yang menghimpit Indira ke dinding. Langsung memberi bogeman hingga pria yang menggerayai Indira terpental menubruk sofa ruang tengah. Si pria itu bahkan nyaris mencumbu Indira.

Indira semakin terisak saat mengingat Nicolaas begitu beringas memukuli Marco saat Marco melecehkannya. Indira ingat seberapa khawatirnya Nicolaas saat itu, Indira pun ingat seberapa bergetarnya suara Nicolaas mengucapkan kata maaf berkali-kali.

Terkadang moment yang sederhana di waktu singkat, akan sangat membekas sekalipun sudah dipaksa untuk dilenyapkan.

Indira menggigit lengannya sendiri untuk meredam suara isakannya.

Hello in NetherlandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang