tiga puluh delapan

102 6 0
                                    

Angin musim semi berhembus tenang, membelai dan menerbang-nerbangkan surai hitam Indira yang sengaja digerai. Redum menghiasi permadani semesta sore ini, membiaskan cahaya jingga ke abu-abuan. Kota Den Haag jauh lebih indah saat di tatap dari atas roftoop seperti sekarang, angin hangat musim semi tak henti-hentinya berhembus dari utara ke selatan.

“Indira!”

Perlahan si empunya nama pun menoleh, rambutnya yang beterbangan sedikit mengganggu pandangan, tapi Indira terlalu enggan untuk menyingkirkannya.

“Indira!” panggilan lebih lembut dilayangkan.

Indira mendongak, mulutnya terkunci tak mengatakan sepatah kata pun, tapi ia tetap menatap sosok tinggi yang kini berdiri di hadapannya. Dia membiarkan Nicolaas menggenggam kedua tangannya, terus menatap Nicolaas bahkan saat pria itu mengecupi kedua punggung tangannya bergantian.

Nicolaas menunduk, ia mengatur nafas sebelum kemudian berucap,

“Indira, hiduplah bersama ku? Menua bersama ku? Kita membangun keluarga kecil seperti yang kamu impikan.” ucap Nicolaas penuh keyakinan, netra pria itu menatap Indira mendamba seraya berdoa supaya Indira memiliki keputusan yang berbeda dari kemarin.

Desau angin terus mendesak menerbangkan surai-surai Indira. Pandangan gadis itu jatuh pada gedung-gedung tinggi yang terlihat dari tempatnya berdiri, mengalihkan pandangan enggan menatap Nicolaas.

Indira menggeleng, “Aku nggak bisa.”

Netra Nicolaas terpejam, “Kenapa?” tanyanya lirih.

“Aku nggak bisa. Aku nggak bisa hidup sama kamu. Aku nggak bisa menua sama kamu. Aku nggak bisa sama kamu, Nicolaas!”

“Kenapa?” Nicolaas melangkah mundur, menyugar rambutnya. “Kamu masih mencintai Marco?”

Sontak Indira langsung menoleh, menggeleng brutal menjawab pertanyaan Nicolaas. Maka sebab itu pula akhirnya Nicolaas dapat melihat wajah kacau Indira, dimana netra gadis itu sudah basah dengan pipi yang berlinangan air mata.

“Apa sih yang kamu harap dari aku? Aku perempuan biasa. Aku nggak kaya. Aku nggak pantes ada di samping kamu, Nic, bahkan walaupun aku cinta kamu—”

“Iya, lalu kenapa?!” Nicolaas mendekat, ia meraih sisi wajah Indira, mendekatkan keningnya dengan kening gadis itu. “Aku tidak masalah dengan itu semua, kenapa kamu sangat mempermasalahkannya. Aku tidak peduli kamu tidak kaya. Aku tidak peduli meskipun kamu hanya perempuan biasa. Yang aku pedulikan itu hanya kamu.” ia menelan susah salivanya,

“Indira, persetan semuanya, aku cuma mau kamu.” lirih Nicolaas putus asa.

Indira perlahan terisak, ia memejamkan netranya seraya kepalan tangan yang memukul brutal dada Nicolaas. “Apa yang bisa kamu harapin dari aku?! Aku hampir gila, Nicolaas! Aku mengonsumsi obat setiap hari dari psikiater! Aku stres! Aku nggak waras! Aku egois! Aku memiliki pemikiran yang kekanakan! Aku bahkan mampu menghancurkan dua orang sekaligus karena keegoisan ku! Astaga! APA YANG KAMU MAU DARI AKU?!!” netranya terbuka, menatap nanar Nicolaas sembari berteriak mengeluarkan semua yang ada di otaknya.

Jemari Nicolaas meraih jemari mungil Indira yang sedari tadi memukuli dadanya, mengecup jemari itu sebelum kemudian meraih sisi wajah Indira. Menautkan bibirnya dengan milik Indira, meredam tangis gadis itu dalam buayan yang nyata. Jemari besar Nicolaas menuntun jemari mungil Indira untuk hinggap di dadanya, membiarkan jemari mungil itu merasakan debar jantung miliknya.

Nicolaas melepaskan tautan, netranya menatap netra Indira yang menatapnya putus asa. “Bahkan sekalipun kamu gila, aku tidak peduli, Indira. Aku hanya ingin kamu. Ingin melindungi kamu. Membangun keluarga kecil bersama mu. Menikmati hari tua bersama mu,” jempolnya membelai dari pelipis Indira hingga turun ke dagu membuat Indira mendongak,

Hello in NetherlandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang