delapan

134 9 0
                                    

Indira meregangkan tubuh, merasa lega setelah mengembalikan kunci mobil milik tetangga sebelah yang ia pinjam untuk mengantar Melissa kemarin. Membawakan beberapa roti, Indira memberikannya sebagai bentuk permintaan maaf karena mobil itu tidak langsung ia kembalikan kemarin.

Kini Indira tengah melamun di ruang tengah. Pekerjaannya sama sekali belum tersentuh, rencana untuk menengok baju wisudanya pun ia lewati, Indira langsung pulang setelah diusir dari apartement Melissa.

Menghela nafas, memijat pelipisnya saat terbayang seberapa rapuh sahabatnya tadi, air muka Indira menunjukkan penyesalan yang teramat besar. Indira menyesal sudah sangat menekan Melissa, mungkin besok dia akan meminta maaf kepada sahabatnya itu. Indira hanya berharap Melissa tidak gegabah untuk mengugurkan kandungannya.

Melirik jam dinding kayu di atas televisi, Indira mendesah malas bangkit dari sofa setelah sadar jam kerjanya sebentar lagi tiba. Gadis itu segera berjalan ke dalam kamar untuk berganti pakaian dan menyiapkan beberapa hal untuk keperluannya berangkat kerja.

Beberapa menit terlewati, kini Indira tampak lebih dewasa setelah berganti pakaian menjadi formal. Dia berjalan ke pantry, membuka kulkas, mengambil sebuah roti tawar dan satu kaleng susu cair. Membawa bahan sarapannya ke atas meja pantry, tangannya sibuk menuang susu vanila ke atas roti tawarnya. Indira melamun sampai tidak sadar bahwa ia sudah terlalu banyak menuangkan susu, hingga setetes susu mengenai jarinya barulah Indira sadar dan kemudian dia panik mengambil dua roti tawar sekaligus, memindahkan susu yang berlebihan ke dua roti itu.

Helaan nafas terdengar. Indira menjilat susu yang mengenai jari telunjuknya. Berbalik untuk mengembalikan susu ke dalam kulkas, Indira meraih sekotak susu cair dan kemudian membawanya ke ruang makan bersamaan dengan tiga lipat roti. Melahab cepat rotinya, Indira segera bangkit setelah acara sarapan alakadarnya itu sudah terlaksana. Ia berjalan sambil menyesap susu kotaknya bahkan saat ia keluar dari dalam unit.

Indira terkesiap, bibirnya refleks membentuk lengkungan saat melihat tetangga depan unitnya juga baru saja keluar dari dalam unit.

“Hai!” sapa Indira.

Nicolaas tersenyum balik, tampak lebih ramah daripada senyum pria itu saat pertama kali Indira datangi unitnya. “Hallo!” sapa balik Nicolaas.

“Ingin berangkat kerja?” tanya Nicolaas setelah memerhatikan baju formal Indira.

Mereka berdua berjalan bersisihan.

Indira mengangguk, “Iya,” melirik Nicolaas yang juga tampak rapih. “Kamu juga 'kan?”

Nicolaas terkekeh, “Iya.” pria itu mengendik, “Ya, semacam latihan rutin setiap akan ada pertandingan.” jawab Nicolaas yang hanya diangguki Indira.

Mereka berdua berjalan dalam keheningan. Terlalu canggung sebenarnya untuk dua orang asing yang berstatus tetangga tapi tidak pernah mengobrol selain saling sapa, seperti sekarang. Obrolan pun hanya berhenti sampai dua atau empat kalimat, selebihnya belum pernah lebih panjang dari itu.

Indira tidak banyak tanya sebab ia sudah tahu apa profesi tetangganya itu. Nicolaas adalah seorang pemain bola untuk Belanda dan aktif juga di persepakbolaan Indonesia sebab pria itu salah satu pemain keturunan yang dinaturalisasi. Ya, tidak heran dengan tinggi menjulang Nicolaas, mungkin saja sepak bola menjadi salah satu pemicunya. Indira mendesah, dia selalu merasa iri melihat tinggi orang-orang.

Sebenarnya tidak lama setelah Indira memberikan rotinya sebagai sambutan tetangga dan tepat setelah dia mengetahui nama si tetangganya itu, Indira langsung berseluncur di internet dan berbagai aplikasi untuk menelusuri identitas si tetangga. Masalahnya hanya karena ia merasa familiar dengan wajah itu makanya Indira memutuskan untuk mencari tahu. Ya, kemudian dia tidak heran kenapa merasa familiar dengan wajah Nicolaas, sebab saat dia masih tinggal di Indonesia, televisi kerap menayangakan wajah Nicolaas bersama timnas membela Indonesia di berbagai pertandingan.

Hello in NetherlandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang