satu

619 30 0
                                    

Seorang gadis berlari tergesa menyusuri koridor menuju aula tertutup milik universitas, tangannya yang membawa buket diangkat tinggi-tinggi agar tidak terhimpit manusia yang berlimpah ruah di sisi kanan dan sisi kiri koridor. Indira Prisa, nama gadis itu, mendesah lesu saat pintu aula sudah tertutup. Menatap bunga di tangannya, ia berbalik memunggungi pintu aula. Suasana riuh dan lalu-lalang orang menghidupkan suasana koridor yang biasanya sepi. Beberapa orang terlihat berkelompok saling mengobrol dengan orang yang mereka kenal, harum bunga mendominasi korirdor sebab hampir semua orang yang hadir menenteng setidaknya satu buket bunga.

Berbalik untuk melihat lagi pintu aula, tidak ada perubahan, karena ternyata masih tetap tertutup. Indira menghela nafas, berjalan gontai meninggalkan aula. “Ini gara-gara buket pesenan aku diambil orang,” menggerutu sepanjang jalan, mulut gadis itu lancar menggerutui si penjual bunga dan manusia tanpa nama yang mengambil pesanannya begitu saja. “Tck, bayaran lebih mahal katanya. Dasar mata duitan!”

Kedatangan Indira ke aula universitas sebenarnya untuk mendatangi temannya yang wisuda hari ini. Sebagai mahasiswi semester akhir, menyempatkan untuk datang ke acara seperti ini adalah suatu anugrah besar karena biasanya Indira hanya akan berdiam diri bersama laptop di apartementnya untuk mengurusi skripsian.

Berbicara tentang skripsi, Indira berarti sudah lebih dari tiga tahun tinggal di negara yang kerap disebut sebagai negara kincir angin ini. Tinggal di luar negri tidak merubah apa pun menurut Indira, karena sejauh ini ia hanya memiliki dua orang teman saja. Sebab itu juga ia mendapatkan gelar mahasiswi introvert.

Indira dapat bernapas lega saat berhasil keluar dari koridor menuju aula yang sangat penuh itu. Ia meraih ponsel di saku celana, membuka aplikasi pesan untuk memberitahu temannya bahwa ia akan menunggu di taman fakultas HI yang tidak jauh dari aula. Selesai menulis pesan, Indira memasukkan kembali ponselnya.

Belanda sedang mengalami musim dingin dan angin musim dingin selalu membuatnya sebal karena angin itu selalu menerbangkan surainya seperti sekarang ini membuat Indira menghentikan langkah. Meletakkan buket bunga di antara kakinya, Indira merogoh saku celana, mencari ikat rambut yang memang sengaja ia bawa. Sebenarnya daripada diikat, Indira lebih membutuhkan rambutnya digerai agar hangat, tapi angin benar-benar mengacak-acak surainya membuat Indira kesal.

Mengangkat kedua tangan untuk merapihkan rambutnya yang panjang sepinggang agar menyatu dan mudah diikat. Sembari tangannya fokus mengikat rambut, Indira kemudian memindai sekeliling. Bertepatan saat netranya bertaut tanpa sengaja dengan netra seorang pria asing yang melintas di hadapannya, kedua tangan Indira terdiam kaku masih memegangi rambutnya, ia bahkan sampai harus berbalik badan untuk melihat kembali pria tinggi itu. Seperti ada yang salah, tapi Indira tidak tahu apa.

“Loh? Kayak kenal?” ia berbalik ke posisi awal, tapi tidak lama Indira berbalik badan lagi melihat jalan yang dilalui pria itu. Mengernyit, “Mana wangi banget lagi! Mukanya kayak nggak asing, siapa ya?”

Berbalik badan menghadap arahnya semula, menyelesaikan ikatan rambutnya yang tadi terhenti. Indira melanjutkan langkah setelah menenteng kembali buket bunganya. Sesaat kemudian ia terhenti lagi, ingatan tak asing melintas bersamaan dengan ingatan Indira tentang pria tinggi tadi. Sesekon kemudian Indira memelototkan matanya lebar-lebar, “LOH? ITU BUKETNYA SAMA KAYAK BUKET KU YANG AWAL!” kemudian ia menunduk malu saat beberapa orang memerhatikannya terang-terangan setelah ia berteriak.

Indira berlari.

“Sial! Malu banget!” keluhnya setelah ia sampai di taman Fakultas HI dan menghampaskan dirinya di kursi taman. Meletakkan buket di pangkuannya. Ia melanjutkan gerutuan.

Indira mengernyit saat sebuah pemikiran menyusup di otaknya, “Buketnya sama kayak pesanan ku yang awal, jangan-jangan itu emang buket ku?! Wah, sialan banget!”

“Dasar orang banyak duit! Perasaan aku nggak gitu-gitu amat. Ya, iyalah! 'kan aku nggak banyak duit..” Indira merasa beruntung karena orang-orang tidak akan paham apa yang ia katakan, sebab sedari tadi ia mengoceh menggunakan bahasa Indonesia. Mungkin satu dua yang akan paham, tapi ia tidak memedulikannya.

Terlampau kesal, akhirnya Indira memilih mengambil ponsel dan earphone dari sakunya, Indira menyumpal kedua telinganya dengan earphone. Ia memilih mendengarkan lagu dan melihat orang berlalu-lalang sembari menunggu temannya.

“INDI!” panggil seorang gadis yang berlari keluar dari dalam gedung, masih lengkap menggunakan baju wisudanya dan membawa banyak buket dengan kerepotan di tangan kanan serta kirinya yang penuh. Liliana Yolanda, nama gadis berdarah campuran Indonesia dan Belanda itu.

Indira menunduk, malu sekali mendengar suara cempreng temannya itu. Ia bahkan sampai membuang muka berpura-puta tidak mengenal, enggan menatap Yola. Tidak terasa ia betah menunggu hampir tiga jam lamanya. Indira mengapresiasi kesabarannya yang kini lebih meningkat daripada tahun-tahun saat ia masih duduk di bangku sekolah.

“Heh! Sombong amat nggak mau liat!” decak gadis tertoga itu.

Indira melirik, memindai temannya dari atas sampai bawah. “Malu-maluin pake teriak!” protesnya.

Indira berdiri, meraih buket di pahanya, “Nih buat kamu! Congratulations, Yola, akhirnya berhasil juga!” Indira menyerahkan buketnya yang langsung diterima oleh gadis bernama Yola itu.

Yola meraih Indira ke dalam pelukan setelah dengan ribet meletakkan buket-buket di kursi yang tadi diduduki Indira, “Thank you very much, ya, Indi! Tanpa kamu mungkin wisuda ku sepi.” Indira terkekeh mendengar ucapan Yola.

Melepas pelukan mereka, Indira menunjuk beberapa buket yang bersemayam di atas kursi yang tadi ia duduki. “Sepi apaan! Kamu sampe kayak mau jualan bunga padahal.” ucap Indira.

“Iyain aja padahal!” geturu Yola, kemudian keduanya tertawa bersamaan.

Dalam tawanya Indira terpaku lagi ketika ia kembali bersitatap dengan pria tadi, pria itu berdiri dalam satu garis lurus yang sama dengan Indira. Ada sesuatu yang membuat Indira tidak bisa mengacungkan jari tengah kepada pria itu padahal ia sangat ingin, mungkin karena wajah teduh pria itu membuat Indira tak tega. Pandangan Indira beralih menatap wanita di sisi pria itu, mengernyit kesal saat melihat buket bunga yang sama ada di pelukan si wanita. Indira membuang wajah.

“Najis! ngasih buket ke ceweknya pake buket curian.” cemooh Indira.

“Hah? Curian? Apanya yang curian?” tanya Yola yang tidak sengaja mendengar ucapan Indira.

Indira menggeleng, “Tadi ada tupai nyuri cangcut!”

“Mana ada!”

“Adain aja! Udah yuk kemana gitu, males banget aku disini! Pemandangannya buruk!”

Yola mengernyit, menoleh kesana kemari memerhatikan pemandangan sekitar yang biasa saja. “Apasih? Padahal enggak tuh?” ia mengedikkan bahu saat Indira menariknya menjauh.

Yola melihat Indira yang begitu semangat menariknya keluar dari taman Fakultas HI. Ia tersentak ketika mengingat sesuatu, Yola menarik balik tangan Indira. Melihat Indira yang hendak protes, ia buru-buru berucap, “BUKET-BUKET AKU KETINGGALAN!” Indira menunduk malu mendengar Yola kembali berteriak.

Indira terseret pasrah mengikuti langkah Yola. Bahkan saat Yola sudah mengangkut semua buketnya, Indira masih tertunduk. Yola memang tidak bisa diandalkan dalam urusan menutup mulut, huh, Indira harus sampai menghela nafas.

“Kamu kenapa sih?” tanya Yola.

Indira tersenyum masam saat wajahnya terangkat, “Kamu kalau apa-apa jangan teriak, bisa?”

“Enggak.” jawab Yola kelewat santai.

Indira mendecak, membuang muka ke arah samping. “Oalah anjing!” gumamnya pelan.

“Aku paham, In!”

ʚɞ
to be continue
see u lovee

—author's note : terimakasih untuk kalian yang sudah menyempatkan diri membaca cerita ini. semoga kalian suka yaa. aku minta maaf apabila ada kalimat/penulisan/informasi yang kurang benar. aku akan terus berusaha memperbaiki tulisan aku sampai benar-benar layak kalian baca. tolong nantikan cerita ini dengan tulus, terimakasih.

26/12/23
©_nyllachyya

Hello in NetherlandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang