tiga puluh dua

80 5 0
                                    

Tiga purnama sudah dilewati Nicolaas dengan penuh kekhawatiran dan rindu yang menjadi satu. Hampir setiap harinya pria itu mendatangi unit apartement Indira untuk sekedar merenung dan kemudian ia baru akan kembali ke apartementnya sendiri saat waktu sudah menunjukkan tengah malam, tak jarang pula dia tertidur di unit Indira sampai pagi datang.

Hidup Nicolaas selama tiga bulan itu tak ada kemajuan sama sekali, terpaku pada rasa kehilangannya. Sebenarnya tak masuk akal, dia baru saya bertemu Indira tidak lama, tapi rasanya ditinggalkan gadis itu jauh lebih sakit daripada saat ia harus melepaskan Irina. Informasi yang dia dapatkan dari satpam gedung apartement tiga bulan yang lalu hanya tentang tangisan Indira sebelum gadis itu pergi terburu-buru, ia sama sekali tidak puas dengan itu.

Seperti hari ini, sekali lagi Nicolaas terbangun di sofa unit Indira. Netranya mengerjap, menatap sendu langit malam dari celah besar pintu kaca yang mengarah pada balkon, kebetulan balkon itu belum ia tutup pintunya. Dia bangkit melangkah menuju balkon, menghela nafas sambil menumpukan badan di pagar balkon, pandangannya tak lagi semangat seperti dulu.

Jemari pria itu merogoh saku celana bahannya, meraih sebungkus rokok. Ia menatap lamat bungkusan itu sebelum meraih satu batang dan menjepitnya di sela-sela bibir. Selama satu minggu ini Nicolaas tak absen menghisap rokoknya, menjadi lebih sering membeli rokok daripada saat dulu masih ada Indira di sini. Bahkan saat Indira masih di sini, ia sudah tak ada keinginan untuk menjamah dan merasakan benda ini, tapi kepergian Indira yang entah kemana membuatnya mendekati benda itu lagi.

Menyalakan rokoknya menggunakan korek api, pria itu menghisap sebelum melepaskan asap ke udara. Tangannya yang bebas tak tertumpu di atas pagar meraih lagi bungkusan rokok di dalam saku celana bahannya. Menatap lamat bungkusan itu lagi.

“Terimaksih.” ucap Nicolaas.

Indira terkesiap, baru sadar Nicolaas berdiri di sisinya. Ia mendongak untuk menatap Nicolaas, “Sama-sama.”

“Oh, iya! Ini rokok anda.” ucap Indira sambil menyodorkan satu bungkus rokok kepada Nicolaas yang disambut dengan senyuman. “Terimakasih lagi.”

Indira terkekeh geli melihat bagaimana ekspresi lucu saat Nicolaas mengucapkan terimakasih kepadanya, “Iya.”

Ia mendesah berat. Rasanya sudah hampir gila karena pikirannya tak pernah terlepas barang sedetik pun dari Indira. Nicolaas sudah berhenti lama menyusahkan banyak orang untuk menampung kegelisahannya. Pria itu hanya menjalankan hidup seperti biasa dan dengan rutin mendatangi unit Indira. Ia sudah tak banyak berbicara tentang Indira di hadapan orang-orang, tapi mungkin mereka tahu kalau ia masih sering mendatangi unit Indira. Nicolaas bahkan sampai rela membayar sewa unit Indira agar ia masih tetap bisa mendatangi unit itu, supaya ia merasakan seolah-olah Indira masih ada di sisinya.

Entah sudah yang keberapa kalinya ia menelfon nomor Indira setiap harinya dan selalu berharap bahwa suatu saat Indira akan mengangkatnya. Tapi bahkan sampai detik ini masih tetap operator yang menjawab.

Nicolaas menyugarkan rambut, membalik badan, menyandarkan punggung ke pagar balkon. Pandangannya teralih pada sebuah pot lavender yang ada di samping pintu kaca balkon. Ia teringat saat mendatangi acara wisuda Indira, saat itu dia tidak tahu Indira menyukai bunga macam apa, tapi kemudian saat melihat pohon lavender ia menjadi tertarik, akhirnya ia memutuskan pot berisi pohon lavenderlah yang diberikannya kepada Indira sebagai hadiah.

Menarik puntung rokoknya dari sela-sela bibir.

“Kembalilah Indira... aku akan memberikan mu banyak pohon lavender dan bunga tulip untuk mu...” tatapannya sendu.

Hello in NetherlandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang