dua puluh delapan

82 4 0
                                    

Sudah lebih dari seminggu sejak kejadian pelecehan yang dialami Indira waktu itu. Dia sekarang menjadi lebih waspada, Nicolaas juga sudah memberi tahu tak lama setelah mereka berbaikan siang itu kalau password unit Indira diganti. Kini Indira lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam unit, mencoba hal-hal baru seperti memasak kue atau cake lalu dia akan memberikannya kepada Nicolaas. Indira lebih banyak melakukan kegiatan di dalam unitnya karena ia sedang menganggur, menunggu lamaran kerjanya diterima, sebab sayang sekali ia tidak dikontrak tetap oleh perusahaan tempatnya magang. Intensitasnya bertemu Nicolaas juga semakin sering sejak hari itu. Nicolaas sangat menjaganya seperti yang pria itu ucapkan.

Kini Indira sedang berjongkok di depan oven barunya, oven yang kemarin kebetulan rusak karena sudah lama tidak digunakan. Matanya membola besar saat menatap kuenya perlahan mengembang.

‘DINGDONG’

Indira terkesiap, menatap ovennya tak rela sebelum melepas sarung tangan dan kemudian beranjak menuju pintu utama. Menebak sekiranya siapa orang yang menekan bellnya di pagi hari seperti ini. Sesaat Indira menegang, langkahnya terhenti, tubuhnya bergetar saat membayangkan kalau misal orang yang memencet bellnya adalah Marco. Bukan tidak mungkin kalau yang menekan bell itu adalah Marco, sebab Marco tidak tahu password barunya.

Indira sudah berancang-ancang akan segera menelfon Nicolaas saat melirik lorong dari kamera intercomnya.

“Oh?”

Bahunya luruh, ia menjadi jauh lebih rileks saat melihat seseorang yang berdiri di depan pintu unitnya adalah pengantar surat. Indira segera membuka pintunya.

“Dengan Nona Indira Prisa?” si pengantar surat langsung bertanya usai melihat Indira membuka pintu.

Indira menganggukkan kepalanya, menatap pengantar surat itu yang menyodorkan sebuah amplop coklat vintage. Indira menerima amplop itu dengan kaku, bahkan dia hanya menurut saja saat disuruh untuk menandatangani bukti penerimaan.

Emang jaman sekarang masih trend kirim surat, ya?

Melirik si pegantar surat yang sudah berlalu setelah mengucapkan selamat tinggal. Pandangan Indira jatuh pada amplop yang ada di tangannya, alisnya menukik mengingat-ingat siapa pemberi amplop itu sambil melangkah masuk lagi ke dalam unitnya, soalnya bentuk dan karakteristik amplop itu seperti tidak asing.

Membuka amplop itu karena terlalu penasaran, ia membolak-balik kertas surat. Indira mendecih, kemudian dia meletakkan surat itu acuh di atas nakas sebelum kembali berjalan ke arah pantry.

Moodnya rusak setelah melihat nama Melissa tertera di sudut bawah kertas surat itu.

“Indira!”

Indira yang baru saja mengeluarkan kuenya dari dalam oven langsung terkesiap mendengar panggilan tiba-tiba dari seseorang. Dia mendengus, memandang sinis si pelaku yang membuat loyangnya jatuh ke lantai.

“Kamu membuatnya jatuh, Nic!” decak kesal Indira sambil berjongkok meraih lagi loyang kuenya.

Intensitas Nicolaas mendatangi apartementnya menjadi jauh lebih sering. Pria itu benar-benar sangat berniat menjaganya. Nicolaas pernah mengusulkan agar ia tinggal saja bersama Sorayma dan Brian di rumah pokoknya, tapi Indira menolak dengan alasan ingin mandiri. Nicolaas akhirnya menerima alasan itu, tapi sebagai konsekuensi atas penolakan itu, kedatangan Nicolaas ke dalam unitnya menjadi lebih sering daripada kemarin-kemarin.

Alis Nicolaas terangkat, “Oh? Maaf kalau begitu, saya tidak sengaja.”

Indira mendengus, “Ya, ya, ya!” berjalan menuju meja pantry. Melepaskan sarung tangan, ia sedikit membungkuk dan mendekatkan pandangannya ke roti, menghirup dalam-dalam aroma roti itu.

Hello in NetherlandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang