delapan belas

83 7 0
                                    

Indira tadi melewatkan sarapan bersama keluarga Nicolaas, berdalih harus segera ke kantor karena ada masalah dengan pekerjaannya dan untungnya Sorayma tidak bertanya lebih lanjut, Mom Nicolaas itu menyuruhnya untuk berangkat bersama Nicolaas, tapi Indira menolaknya saat merasa Nicolaas sedang tidak baik-baik saja. Pria itu lebih banyak diam di kursi makan, bahkan menatap makan yang tersaji pun tidak se-semangat itu.

Indira sudah lebih dari lima jam duduk tenang di kursi kerjanya. Kini ia tengah menatap komputer tanpa mengetik sesuatu, benar-benar hanya menatap. Pikirannya kacau, pekerjaannya banyak yang terdelay.

Teman semejanya yang tadi hanya memperhatikan, kini menyenggol Indira untuk menyadarkan gadis itu dari lamunan. Indira menatap kawannya yang berdarah Belanda asli. “Kenapa?”

“Kamu dipanggil Boss ke ruangannya.”

Indira mengerling, menatap Leona Maribelle si gadis anggun yang menjadi teman semejanya lebih dari setahun ini. “Dank u, informasinya.” ucapnya sebelum beranjak dari tempat duduk.

Leona menatap Indira, perempuan itu mengernyit, “Kamu kalau ada masalah bisa cerita ke aku, Ind.”

Indira tersenyum, “Aku nggak apa-apa, Le.” ia menuding pintu direkturnya, “Aku duluan, ya? Takut boss marah-marah.” kemudian Indira berjalan menjauhi tempatnya duduk, gadis asal Indonesia itu mengetuk pintu dan saat sebuah suara menyuruhnya masuk, Indira langsung bergegas mengikuti instruksi itu.

Hampir dua puluh menit Indira menghadap direktur divisinya, ia akhirnya diperbolehkan keluar dari dalam ruangan itu. Saat mendengar bunyi langkah kaki mendekat, Leona yang sedang mengerjakan sesuatu menoleh ke asal suara, menaikkan sebelah alis melihat Indira yang sudah duduk di sisinya seperti semula.

Leona menarik kursinya mendekat ke kursi Indira, membuat jarak mereka menjadi lebih dekat. Dia mencondongkan tubuh, kemudian berbisik tepat di sisi telinga Indira, “Ada masalah apa? Boss marah lagi?” bisiknya supaya tidak mengganggu pegawai yang lainnya.

Indira menggeleng, jemari gadis itu meraih tasnya di sudut meja membuat Leona mengernyit dalam. “Aku mau ngurus penyelesaiian magang. Harus ke kampus.” ucap Indira sebelum Leona memberondongnya dengan pertanyaan lain.

Leona mendongak, menatap Indira yang sudah berdiri dari duduknya sembari meneteng beberapa berkas dan memasukkan ke dalam ransel gadis itu. “Nanti kesini lagi tidak?”

“Enggak. Lumayan lama kayaknya di kampus. Aku dikasih cuti satu hari, selain penyelesaiian magang, sebentar lagi 'kan aku wisuda.”

Leona menepuk dahinya, “Oh iya! Kamu wisuda, ya? Aku boleh datang tidak?”

Indira mengangguk, “Boleh. Kabarin aja kalau mau dateng.” ia makai ranselnya, “Aku duluan, ya. Bye-bye!” pamitnya sebelum melangkah pergi.

Pertengahan desember ini Indira sudah mendapat banyak ujian. Dari siksaan skripsi yang membuatnya hampir mati, masalah kehamilan Melissa, sampai kasus perselingkuhan Marco. Indira mendesah, lelah sekali rasanya, ia harap tahun depan menjadi lebih baik lagi, ia ingin bebas dari semua masalah ini. Mendudukkan diri di kursi taxi, menyamankan posisi duduknya sembari menoleh menatap jendela. Permadani pagi ini tampak mendung, mungkin salju akan turun.

Marco. Indira rencananya akan mendatangi pria itu nanti sepulang dari kampus. Benar-benar muak rasanya, kecewa juga. Ia memang tidak bisa langsung menghakimi Marco, mungkin pria itu punya alasan dan banyak alibi. Indira akan mendengarkan semua yang pria itu ucapkan, tapi Indira tidak akan pernah mau kembali seperti sebelum terjadi masalah itu. Ini soal kepercayaan dan Indira sangat menghargai kepercayaan, kalau kepercayaannya dinodai, ia tidak yakin bisa menjadi sama seperti semula.

Hello in NetherlandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang