enam belas

104 8 0
                                    

Indira terburu-buru memasuki bar saat Nicolaas baru saja memarkirkan mobilnya, gadis itu berlari menerobos kerumunan orang berjoget hingga beberapa kali menyenggol bahu orang-orang, membuatnya mendapatkan tatapan marah dari orang yang tersenggol. Nicolaas mengikutinya dari belakang, balik memelototi orang yang menatap Indira marah.

Orang-orang tengah sibuk meliuk-liukkan tubuh mereka mengikuti iringan lagu dan permainan lampu. Suasana riuh dan sangat ramai, bau alkohol dan rokok mendominasi tempat ini. Pencahayaan sangat minim, bunyi musik juga sangat membengkakkan telinga. Ini kali ke-tiga Indira mendatangi bar.

Indira berhenti setelah menerobos kerumunan, ia menjinjit untuk memindai sekeliling, orang-orang Eropa ini terlalu tinggi untuknya yang hanya memiliki tinggi kisaran dibawah 160. Indira menemukannya, ia melihat dimana tubuh Marco berada, tapi hal yang ia lihat justru membuatnya ingin segera kembali ke rumah Nicolaas.

Nicolaas tiba di sisi Indira, melihat Indira yang hanya menatap lurus tanpa berkedip membuat Nicolaas mengikuti arah pandang gadis itu. Nicolaas terkejut, secepat kilat melirik lagi Indira yang masih terpaku. Jemari pria itu perlahan meraih jemari Indira, melingkupinya dengan genggaman membuat Indira yang terpaku langsung tersadar dan mendongak memandang Nicolaas.

“Kamu..?” tanya Nicolaas ragu, netra pria itu beberapa kali melirik Marco yang berdiri tak jauh dari mereka.

“Aku nggak apa-apa, Nic.”

Nicolaas menatap Indira tak yakin, pria itu melihat kilatan terluka dari netra Indira. Nicolaas menatap lagi Marco yang tengah bercumbu dengan seorang wanita di depan meja bar.

Nicolaas menunduk, menyejajarkan wajahnya dengan wajah Indira. “Mau pulang saja?”

“Aku nggak apa-apa. Kita di sini 'kan emang mau jemput Marco,” jedanya. Indira menelan susah payah salivanya, “Ayo jemput dia dulu, baru kita pulang.”

“Kamu tidak terluka melihat itu?” Nicolaas tidak habis pikir dengan Indira yang masih tetap ingin mendekati Marco, jelas-jelas kekasih gadis itu tengah mencumbu wanita lain.

Indira terkekeh, “Aku terluka. Itu jelas, aku nggak bakal bohong. Tapi, bartender itu meminta tolong dan sebagai sesama manusia aku harus tetap menolongnya. Terlepas dari apa yang Marco lakukan sekarang, pria itu cuma terlampau mabuk, tapi jelas aku tidak akan memaafkannya begitu saja.” jelas Indira.

“Kamu yakin soal itu?”

“Nic, aku boleh minta tolong?” bukannya menjawab pertanyaan Nicolaas, justru Indira meminta hal lain kepada Nicolaas membuat pria itu langsung mengangguk mengiyakan.

“Videoin itu, ya? Buat bukti kalau misal Marco nanti nggak ngaku.” pinta Indira yang kemudian diangguki Nicolaas tanpa banyak bicara.

Keduanya kemudian berjalan mendekati tempat Marco duduk dengan seorang wanita di pangkuannya. Nicolaas mengikuti Indira dari belakang, pria itu mengangkat ponselnya untuk merekam seperti yang dipinta Indira. Beberapa kali Nicolaas menoleh ke arah Indira, merasa khawatir terhadap perasaan gadis itu, namun tampaknya Indira jauh dari kata perempuan cengeng. Indira memang menampakkan kilat terluka, bahkan Nicolaas bisa melihatnya dengan jelas, tapi gadis itu tidak sama sekali menumpahkan air matanya.

“Kamu kenapa ngeliatin aku kayak gitu, Nic?” tanya Indira tanpa menoleh.

“Saya heran, kenapa kamu tidak menangis?”

Langkah Indira berhenti tepat di depan sofa yang Marco duduki, jemari Indira terkepal di sisi tubuhnya. Netra gadis itu semakin jelas melihat hal menjijikan yang dilakukan oleh kekasihnya itu.

“Aku udah bersumpah untuk tidak menangis karena pengkhianatan.” suara Indira berujar dingin.

Nicolaas terpaku mendengar jawaban Indira. Selanjutnya pria itu hanya diam memandangi apa yang akan dilakukan oleh Indira sambil mengangkat tangannya merekam.

Hello in NetherlandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang