tujuh

150 9 0
                                    

Pagi harinya Indira terbangun dengan tubuh yang sakit di beberapa bagian, tidur di atas sofa sempit berdua adalah pilihan yang buruk, tapi Indira justru tersenyum saat melihat Marco menjadi bantalannya selama ia tidur. Dia sibuk menatap wajah Marco, melihat bagaimana pria itu sama sekali tidak terganggung dengan kegiatan Indira memandanginya. Merasa tidak ada tanda-tanda Marco akan segera bangun, Indira iseng menarik hidung mancung pria itu, menutup lubang hidungnya hingga Marco mengerang.

Perlahan mata pria itu terbuka, menguap lebar, lalu mengusakkan wajahnya semakin dalam ke ceruk leher Indira. “Kamu sudah bangun?” suara bangun tidur itu membuat Indira merinding hingga mengusap telinganya.

Marco menjauhkan wajah, memicing menatap Indira, “Kenapa? Suara aku jelek?”

“Enggak,” membuka selimut, “Lepas! Aku mau mandi terus pulang.” ucap Indira. Ia berusaha melepas lengan Marco yang membelit pinggangnya.

Marco malah semakin mengeratkan pelukan setelah mendengar ucapan Indira.

“Masih pagi buta, sayang. Salju turun dan udara semakin dingin,” mengecup dahi Indira pelan. “Nanti kamu bisa membeku.”

“Alasan kamu aja itu.” Indira memutar bola matanya. Marco sangat suka menahannya saat ia memilih untuk menginap dan itu kadang menjadi menyebalkan karena Marco benar-benar akan menempel kepadanya.

Marco mengerang, mendekap Indira semakin erat hingga gadis itu memukul tangan Marco karena merasa sesak.

“Pulangnya nanti saja!”

“Aku harus kerja, Marco.” desis Indira mulai merasa kesal. Marco memang akan menjadi sangat menyebalkan kalau Indira sudah berkata akan pulang.

“Ya sudah kerjanya nanti saja kalau begitu.” cetus Marco cuek.

“Kamu bukan boss yang menggaji ku, jadi diamlah okey?” mengecup pipi Marco, “Biarkan aku pulang atau aku tidak ingin menginap lagi disini?” pertanyaan itu sukses membuat Marco segera melepas pelukannya, bahkan pria itu menendang selimut yang masih mereka kenahan hingga selimut itu terjatuh ke lantai.

Bangkit dari posisi tidurnya yang melelahkan, Indira meregangkan tubuh sebelum beranjak dari sofa.

Melirik Marco yang tidak mau beranjak dari sofa, bibir pria itu maju se-centi membuat Indira terbahak. “Gitu aja ngambek! Payah!”

“Terserah aku!”

“Ya udah, aku langsung pulang aja kalau gitu.” Indira mengerling jahil, “Bye, Marco!”

“Mandi dulu, Indira! Kamu bau seperti itu nanti gajimu dipotong!” Marco berucap ketus.

Indira mengendik, “Aku 'kan bisa mandi di unit ku sendiri.” ia masih berusaha menjahili Marco. Pria itu sangat suka kebersihan dan mandi sebelum keluar rumah selalu menjadi kewajiban. Marco sangat tidak suka seseorang bepergian tanpa mandi, menurutnya itu jorok, jadi saat Indira menjahili berkata tidak ingin mandi, tentu saja Marco kesal.

“Kasian orang yang bertemu kamu di jalan, nanti mereka kebauan!”

“Aku masih wangi, Marco!”

“Mandi sekarang atau kamu tidak boleh pulang?”

“Oh, jadi aku boleh pulang 'kan kalau sudah mandi?” Indira tersenyum lebar, “Okey kalau begitu!” gadis itu berjalan dengan semangat ke toilet. Indira puas setelah ia dapat menjahili Marco. Marco memang harus dikecoh dulu supaya pria itu membiarkannya pulang, kalau tidak seperti itu akan susah.

Beberapa menit kemudian Indira sudah siap dengan bajunya yang tadi, ia tidak membawa ganti dan mau tidak mau harus mengenakan pakaiannya yang sama seperti tadi, karena Marco juga tidak menyediakan baju kala ia tinggal.

Hello in NetherlandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang