sembilan belas

78 6 0
                                    

Indira tak tahu harus melakukan apa selain melanjutkan langkahnya menerobos badai salju, badannya mulai menggigil tapi ia belum memiliki niatan untuk menepi dan menghangatkan diri. Gadis itu berjalan tanpa arah, jemarinya saling mengepal erat di dalam saku pading. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam lebih, tapi Indira belum ingin pulang.

Dia terus melangkah, sampai saat ia tiba di salah satu persimpangan jalan, ia mengernyitkan matanya mencoba menajamkan pandangan. Indira terus menatap sebuah mobil terparkir di pinggir jalan, kebetulan tersorot lampu jalan yang ada tepat di atasnya.

Indira bergetar, giginya sudah beradu menggigil. “Ugh! Itu Nicolaas bukan sih?”

Karena penasaran akhirnya Indira lebih memilih melangkah mendekat, dari pada penasaran terus 'kan. Dari warna mobil dan jenis mobilnya sih seperti milik Nicolaas.

Lho? Beneran Nicolaas?

Indira melihatnya, pria itu tengah menyandarkan tubuhnya di body mobil dan terdiam tanpa melakukan apa pun. Setelah yakin yang ia lihat adalah Nicolaas, akhirnya Indira memberanikan diri untuk mendekat.

“Nicolaas?”

Netra Nicolaas yang semula terpejam langsung terbuka menatap sumber suara yang memanggilnya.

Indira terkejut saat melihat keadaan Nicolaas. Pria itu tampak kacau. Netranya merah, rambutnya berantakan, jelas hampir sama kacaunya dengan keadaan Indira sendiri.

“Indira? Kenapa kamu bisa di sini?” tanya Nicolaas saat sadar ternyata yang memanggilnya adalah Indira.

Indira memaksakan senyum tipis, “Kebetulan lewat.”

“Saya rasa tidak mungkin.”

Indira terkekeh, menganggukkan kepala sebelum semakin melangkah mendekati Nicolaas. “Kamu sendiri ngapain di sini?”

Nicolaas mendongak menatap langit hingga salju yang turun mengenai wajah pria itu. “Merenung.” jawabnya.

Bibir Indira bergetar saat merasa dingin semakin menusuk dalam ke tulangnya. Dia mendekati Nicolaas, ikut menyandarkan dirinya ke body mobil di sebelah Nicolaas sambil bersidekap menyembunyikan jari-jari tangannya di bawah ketiak yang tertutupi pading tebal.

“Kayaknya kamu lagi ada masalah,” Indira menoleh menatap Nicolaas dari samping, melihat rahang tegas pria itu. “Iya 'kan?”

Nicolaas terkekeh, “Bisa dibilang seperti itu.” pria itu balik memindai Indira, “Sepertinya kamu juga?”

“Iya.”

Terjadi hening sesaat. Keduanya sama-sama menatap lurus jalanan, melihat orang-orang berlalu lalang dan melakukan sesuatu. Orang-orang terus bergerak dari tempat satu ke tempat yang lainnya, tidak seperti Indira dan Nicolaas yang masih terhenti di satu tempat tanpa ingin beranjak.

Indira berdehem membuat Nicolaas yang sedang melamun jadi terkesiap.

“Kamu tau Marco 'kan?” tanya Indira memulai pembicaraan setelah keheningan cukup lama melumat mereka.

Nicolaas mengangguk mengiyakan. “Kekasih mu?”

Terkekeh mendengar pertanyaan Nicolaas, Indira menggeleng, “Sayangnya tepat beberapa manit lalu dia udah bukan kekasih ku lagi.”

Nicolaas mengerjap terkejut menatap Indira, “Kamu putus?”

“Ya,” ia mengendik, “Seperti itulah.”

“Karena masalah saat di bar itu?”

“Tepat sekali.”

“Saya kira kamu tidak akan memutuskannya, lagipula dia mabuk 'kan?”

Hello in NetherlandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang