dua puluh

96 7 0
                                    

Tidak disangka oleh Indira bahwa ia akan terbangun di atas ranjang rumah sakit setelah rasa-rasanya tubuhnya membeku malam tadi.

Tunggu! Sinar di jendela... berarti aku mungkin hanya pingsan tak lebih dari 7 jam 'kan? Oh, tidak, tidak! Atau mungkin 10?

Mengerjap, mengerang pelan saat tubuhnya sangat lemas. Ia mendesah, menatap pasrah langit-langit rumah sakit. Mengerjap lagi saat mendengar pintu kamar terbuka dan Nicolaas ada di ambang pintu itu menatapnya.

“Kamu sudah baik-baik saja?” Nicolaas tiba secepat kilat di sisi Indira, menatapi gadis itu dengan tatapan khawatir serta lega menjadi satu membuat Indira mengernyitkan kening.

“Aku cukup baik, sepertinya,”

Indira menatap sekeliling, pandangannya turun menatap pakaian Nicolaas yang sudah berbeda dari pakaiannya semalam.

Mungkin tadi dia pulang terus ganti baju.

“Aku pingsan lama, ya, Nic? Mungkin sekitar sepuluh jam? Soalnya sinar matahari sudah membias di jendela.”

Nicolaas menarik sebuah kursi mendekati ranjang Indira, ia mendudukkan diri dan menyodorkan gelas berisi air mineral, meletakkan gelas tepat di depan bibir Indira membuat gadis itu dengan gampang hanya tinggal menyesap.

“Kamu pingsan dua hari, bukan sepuluh jam lagi, Indira.” ucapnya santai usai menarik gelas dari Indira saat gadis itu mengisyaratkan sudah cukup.

Terlampau terkejut, Indira tersedak hingga terbatuk-batuk. Dia sampai membelalakkan matanya menatap Nicolaas tak percaya,

“Kamu bohong, ya?” tanyanya ngengas usai batuknya reda.

Mijn God, Indira! Saya mana berani berbohong.” ucap Nicolaas sambil meraih buah apel di atas nakas. Mengupasnya hati-hati menggunakan pisau, memotongnya seukuran dadu saat kulit apel sudah selesai ia bersihkan.

Indira hanya melirik kegiatan Nicolaas dari tempat tidurnya, menatap terdiam sebab otaknya masih mencerna ucapan Nicolaas.

Yang benar aja, anjir! Yakali aku pingsan dua hari! Ini kebo apa emang beneran pingsan dah?

Indira membolakan mata terkejut saat merasa bibirnya tersentuh benda dingin, ia menatap terpaku tangan Nicolaas yang menyodorkan salah satu potongan apel kepadanya.

Pria itu menggoyang-goyangkan garpunya di depan bibir Indira, “Ayo dimakan! Kamu harus banyak makan buah.”

Mau tidak mau akhirnya Indira melahab potongan apel yang disodorkan Nicolaas.

“Aku kenapa bisa pingsan dua hari, Nic?” tanya Indira sambil mengecap apel di dalam mulut.

“Telan dulu apelnya, baru bicara.”

Indira menurut, menelan apelnya secepat kilat karena ia penasaran dengan jawaban Nicolaas. Ia membuka mulut menunjukkan kepada Nicolaas bahwa apelnya sudah habis, tapi justru pria itu memasukkan potongan apel yang lain ke dalam mulutnya membuat Indira menatap protes.

“Kunyah saja.” Nicolaas terkekeh, ia menyandarkan lagi punggungnya di sandaran kursi setelah tadi agak mencondongkan badan untuk menyuapi Indira tanpa bantuan garpu.

Nicolaas bersidekap, menunggu kunyahan Indira rampung. “Kamu pingsan lama karena lambung mu bermasalah. Sebelum malam itu terjadi, kamu melewatkan sarapan 'kan dan makan siang saya rasa? Sepertinya juga kamu memiliki gangguan tidur, dokter berkata kamu pingsan juga karena tubuh mu mendokrin dan memerintah untuk kamu beristirahat,” pria itu menyuapkan satu apel untuk dirinya sendiri setelah menyuapi Indira lagi. “Mungkin karena minggu-minggu sebelumnya tubuh mu terlalu terforsir. Dan yang terakhir, kamu benar-benar terkena hipotermia kemarin.”

Hello in NetherlandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang