dua puluh lima

84 5 0
                                    

Dua hari setelah itu Indira memutuskan untuk pindah ke apartementnya ditemani Nicolaas yang juga langsung tinggal di unit pria itu. Sorayma sangat kehilangan Indira karena hanya gadis itu saja yang bisa menemaninya berkebun, wanita dewasa itu juga sangat sedih karena harus kembali berpisah rumah dengan anak sulungnya. Untuk menenangkan Sorayma, Indira berkata bahwa gadis itu akan sering datang ke rumah keluarga Sebastiaan, dan Indira juga berkata Sorayma boleh mendatangi unitnya kapan saja.

Indira mendesau, memijat pelipisnya yang pening. Tangannya tengah mencekal banyak sekali dokumen, dari dokumen penyelesaian magang yang akan diberikan kepada pimpinannya di tempat kerja, dan rekapan hasil magang yang akan dia serahkan kepada pihak kampus.

Setelah ia pindah ke apartement, intensitasnya bertemu dengan Nicolaas sedikit menurun. Keduanya sangat sibuk dan mereka kembali seperti kebiasaan yang dulu sebelum mereka tinggal di bawah atap yang sama. Keduanya hanya saling menyapa saat bertatap muka.

Indira sendiri tengah sangat sibuk dengan dokumen-dokumen yang membutuhkannya dan Nicolaas juga tengah sangat sibuk mempersiapkan untuk matchnya di laga Belanda.

"Ind, kamu sendu banget kayaknya, kenapa?" tanya Leona yang sedang merapihkan berkas-berkas di atas meja. Perempuan itu juga akan segera menyelesaikan magangnya seperti Indira.

"Enggak. Cuma capek aja."

"Eh! Aku belum sempet tanya ke kamu. Btw, pria yang waktu itu datang ke sini memberikan surat dokter itu siapa mu? Wajahnya aku rasa tidak terlalu asing."

Indira mengerjap, tidak menduga akan diberi pertanyaan seperti itu oleh Leona.

"Cuma teman."

"Memangnya iya?"

"Iya."

Telunjuk Leona diletakkan sengaja di bawah dagu, berpose seperti tengah berpikir, "Memangnya ada, ya? Masa hanya teman tapi dia mau direpoti buat memberikan surat dokter ke tempat magang temannya?"

Indira mengendik, "Kebetulan dia yang membawa ku ke rumah sakit."

Leona mengangguk-angguk mendengar pernyataan Indira. "Baiklah, bisa diterima."

"Aku sedang tidak membual, Le."

"Ya sudah iya, aku percaya."

Melihat Indira yang sudah selesai merapihkan dokumennya, alis Leona berkerut melihat Indira beranjak sambil membawa ransel gadis itu. "Mau kemana?"

"Lho? Kamu lupa ingatan, ya? 'Kan aku udah bilang mau ke kampus, terus abis itu pulang."

"Kenapa aku tidak?"

"Jadwal mu 'kan besok, kamu benar-benar lupa?"

Menatapi Leona yang sibuk terbengong memikirkan jadwal kerja, Indira berdehem sambil membenarkan letak ranselnya, "Aku pergi dulu, ya? Bye!" ucapnya sebelum beranjak.

•ʚɞ•

Sepulangnya dari kampus, setelah selesai membersihkan badannya, Indira berjalan untuk keluar dari dalam unitnya. Dia berencana merefreshing dirinya sendiri untuk berjalan-jalan, rencananya ia ingin mendatangi cafe Yola, sudah lama sekali ia tidak mendatangi sahabatnya yang satu itu. Terlalu banyak masalah menimpanya dari satu bulan yang lalu sampai sekarang, hingga ia tidak memiliki waktu untuk memberikan hiburan untuk dirinya sendiri.

"Ingin keluar, Dira?"

Indira terkesiap saat mendengar suara bariton seorang pria merasuki rungunya tiba-tiba. Ia menoleh mantap sumber suara, netranya membulat melihat Nicolaas baru hendak masuk ke dalam unit pria itu sendiri.

Hello in NetherlandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang