tiga puluh sembilan

400 8 6
                                    

Setelah uring-uringan setengah hari penuh, akhirnya Indira kini tengah berada di sebuah cafe di daerah Braga, menuruti perintah bunda agar ia berjalan-jalan atau setidaknya hangout bersama teman. Indira menatap lamat jalanan yang ramai saat mentari sudah akan segera digantikan tugasnya oleh rembulan. Orang-orang sibuk berlalu lalang baik berjalan maupun menggunakan kendaraan masing-masing. Indira terbengong, masih tidak percaya bahwa apa yang ia alami adalah mimpi, sebab ia merasakannya dan rasanya sangat nyata.

Ia menggaruk pelipisnya, memikirkan ucapan bundanya tadi. Bunda berkata kalau Indira tidur berjalan, Indira mendesah lalu menumpukan kepalanya di atas kedua tangan yang dilipat di atas meja cafe,

Ah, tapi aku emang sering tidur sambil jalan sih.. bunda mana ada boong.

“Indi!”

Indira menoleh, menatap seorang gadis berpakaian nyentrik yang tengah berjalan dari ambang pintu masuk mendekat ke arah mejanya.

“Yola!” ucapnya bangkit sambil memeluk singkat Yolanda.

“Kamu agak kurusan ya, Ind?” tanya Yola setelah melepas pelukannya.

“Emang iya?” diangguki oleh Yola.

Indira menghela nafas, duduk lagi di kursinya, menyandarkan tubuh di sandaran kursi besi itu. “Stres kali,” Indira mengendikkan bahu.

“Masih mikirin mau kuliah di Belanda?”

Indira refleks mencondongkan tubuhnya, menatap Yola dari jarak sejengkal membuat Yolanda terkesiap hampir terjengkang. Pandangan Indira bukan jenis pandangan romantis, justru pandangan itu membuat Yolanda merasa ngeri sendiri.

“Aku ada cerita!” Indira menjentikkan jarinya.

Tangan Yolanda terangkat untuk memanggil pegawai cafe, ia kembali menoleh ke arah Indira usai pegawai cafe itu pergi untuk membuatkan pesanannya. “Cerita apa?” tanya Yola.

Indira menghela nafas berat sebelum menyangga salah satu pipi menggunakan telapak tangan, pandangannya menatap jendela, “Aku nggak tau ini mimpi atau enggak, but okey, kayaknya lebih bagus dianggep mimpi aja—”

So?

Indira merotasikan netranya, “Sabar elah!”

Indira berdehem, menyesap coklat panasnya sesaat sebelum memulai cerita. “Aku mimpi ketemu Nicolaas Sebastiaan,” Indira mengangkat tangannya saat sadar Yola akan menyela. “Di mimpi itu perjalanannya panjang banget, dari yang aku nangis-nangis karena skripsi sampe abis itu ketemu sama Nicolaas. Aku beberapa kali ketemu Nicolaas, terus abis itu kita lumayan deket karena kita tetangga...” Indira terus bercerita dengan detail. Sesekali menyesap coklatnya sebelum kembali melanjutkan ocehan.

Yolanda berdehem, menatap Indira, ikut menyangga pipinya seperti Indira. “Terus akhirnya gimana?”

Percakapan mereka terjeda saat seorang pelayan datang yang membawa pesanan untuk Yolanda. Yolanda mengucap terimakasih sebelum pada akhirnya kembali terfokus kepada Indira, menyuruh gadis itu menjawab.

Indira mengernyit, “Jawab apaan?”

Yolanda merotasikan netra, “Ya terus gimana, dodol! Kamu minta maaf nggak?”

Indira menggeleng menjawab pertanyaan itu. Ia mendesah, “Mana ada! Keburu bangun!” dengan lesu menumpukan kembali kepalanya di atas lipatan tangan.

“Lah? Sedih amat? Kamu 'kan mau nonton timnas langsung di tribun 'kan? Pasti ada Nicolaas juga itu, siapa tau ketemu?” Yola mengendik.

“Emang iya?”

“Hah?”

“Emang aku mau nonton bola di tribun?”

Hello in NetherlandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang