dua puluh sembilan

80 5 0
                                    

Permadani semesta sore ini tampak lebih cerah. Indira berdoa dalam hati supaya salju tidak turun. Gadis itu tengah ada di dalam taxi menuju apartement Melissa, rencananya ingin marah-marah sebab ia kesal Melissa selalu memberinya surat-surat yang entah isinya apa karena Indira tidak pernah memiliki keinginan sedikit pun untuk membacanya, bahkan untuk sekedar membuka pun ia enggan. Ya, meskipun hari ini ia belum sama sekali menerima surat apa pun dari perempuan itu.

Sebelum ia berbahagia menonton pertandingan Nicolaas, sebaiknya ia menuntaskan dulu masalahnya dengan Melissa. Sedikit ada perasaan iba di hatinya, tapi kali ini Indira lebih memilih egois, ia hanya akan berjuang untuk dirinya sendiri. Sudah cukup ia merasa sakit karena dikhianati. Sudah cukup rasa simpatinya hampir melumpuhkan mentalnya sendiri. Kali ini Indira hanya ingin memfokuskan untuk dirinya sendiri, tidak ada orang lain lagi.

Menghentikan langkah sesaat sebelum masuk ke dalam gedung apartement yang ditempati Melissa, ia mendongak menatap tinggi gedung itu sebelum menghela nafas dan kemudian masuk.

Kakinya melangkah melewati pintu lift setelah lift itu mengantarnya menuju lantai dimana unit Melissa berada. Tatapannya tajam, tangannya terkepal saat melihat tembok koridor yang jadi saksi bisu tangisannya saat ia tahu semua rahasia Marco dan Melissa.

Netranya nanar menatap pintu unit Melissa, ia juga ingat bagaimana terkejutnya ia setelah membuka pintu itu. Sekalipun Indira tak memiliki perasaan lebih dalam kepada Marco, tapi dikhianati adalah sesuatu hal yang Indira benci, apalagi saat sudah memutuskan untuk berkomitmen.

Dia menghela nafas, menenangkan dirinya sendiri. Telunjuknya perlahan menekan bell. Satu dua kali ia menekan bell dan tidak ada tanda-tanda pintu akan terbuka, Indira masih sabar, tapi saat ia sudah menekan untuk yang ke-lima kalinya ia menjadi kesal sendiri.

Buka aja kali, ya? Tapi nanti ada kejutan lagi!

Merasa kesal akhirnya Indira memutuskan untuk menekan password unit Melissa, terkejut saat melihat pintu terbuka, ternyata passwordnya tidak diganti. Berhubung Indira memang ingin menegaskan kepada Melissa supaya mereka tidak ada ikatan apa pun lagi diantara keduanya, jadilah ia memberanikan diri untuk melangkah masuk semakin dalam.

Indira terpaku menatap sekelilingnya. Apartement ini seperti sudah tidak terawat beberapa hari. Pikiran-pikiran tidak benar merasuki otaknya, Indira mengerjap.

Hilang kemana dia?

Ia mendecak antara kesal dan khawatir, melangkah lebih jauh menyusuri ruangan. Mendatangi pantry, di sana kosong tidak ada Melissa. Ia kemudian melangkah ke kamar mandi, di sana juga tidak ada Melissa. Indira menghela nafas, ia kemudian melangkah menuju kamar Melissa yang terletak tidak jauh dari ruang tengah.

Tangannya menyentuh handle pintu, membukanya perlahan.

Indira menahan nafas melihat apa yang ada di hadapannya.

Kok ada garis polisi?

Indira terpaku tak dapat melakukan apa pun. Pandangannya menatap lurus garis polisi yang terbentang mengelilingi kamar. Nafasnya menjadi tidak beraturan.

Melissa... kemana?

Dia mengerjap, lalu setelah itu kalang kabut berlari keluar dari unit Melissa. Berlari cepat menuju lift, tapi kebetulan lift sedang penuh, ia nekad turun ke lantai paling bawah dari lantai tujuh ini menggunakan tangga darurat.

Nafasnya terenggah-enggah, ia menyandarkan tubuh ke pegangan tangga.

Baru sampai lantai empat..

Mengusap peluhnya, Indira lanjut bergegas untuk menuruni tangga. Ia berhenti lagi, melepas flat shoesnya yang licin, kemudian ia kembali menuruni tangga dengan terburu-buru.

Hello in NetherlandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang