tiga puluh

91 6 0
                                    

Netra Nicolaas terus memandang ke arah tribun saat jeda menuju pertandingan babak ke-dua. Ia menoleh sana-sini mencari batang hidung Indira yang tak kunjung terlihat. Bibirnya tergigit cemas, gadis itu berkata akan menonton pertandingannya dan Indira tidak pernah bohong tentang itu. Lalu, sekarang Indira kemana?

Calvin mendekat setelah melihat kegelisahan kawannya. Dia menepuk pundak Nicolaas membuat sang empunya terkesiap, “Mencari Indira?”

Nicolaas menoleh, “Ya.”

“Loh? Sudah tidak denial lagi?”

Yang ditanya pun mendengus mendengar pertanyaan itu. “Menurut mu saja.”

Calvin tertawa, meraih satu botol air mineral di belakang Nicolaas, membuka tutup botol itu. Ia memandang Nicolaas, “Ku kira masih belum sadar. Baguslah kalau begitu.” menuding Irina yang tengah bersama selingkuhannya menggunakan dagu, “Sudah tidak marah lagi dengan Irina?” ucapnya sebelum mendongak menenggak minumnya.

Nicolaas menghela nafas, melirik yang tadi dituding Calvin. “Tidak. Aku dan dia sama. Kita berdua sama-sama berkhianat. Bedanya aku baru menyadari perasaan itu setelah aku dan dia putus.”

Calvin menaik turunkan alisnya jahil, “Perasaan apa?”

“Indira. Aku baru sadar kalau aku mencintainya.”

Calvin menepuk-nepuk bangga punggung Nicolaas, senyumnya terukir lebar. “Akhirnya kamu sadar! Ah! Sepertinya kamu harus mentraktir ku, harusnya kamu berterimakasih karena aku sudah memberitahukan kedok kekasih Indira waktu itu!”

“Kamu membuatnya menangis, sialan!”

“Loh? Ya sudah! Itu 'kan konsekuensinya.” merangkul akrab bahu Nicolaas, “Ayo berkumpul!” ajaknya sambil melangkah mendekati timnya yang sudah berkumpul di sisi lapangan untuk membahas strategi baru untuk melawan musuh.

Dalam langkahnya Nicolaas berharap Indira akan datang menontonnya, karena Nicolaas sendiri sedang berusaha semaksimal mungkin melakukan yang terbaik supaya klubnya bisa meraih kemenangan setelah kalah di babak pertama dan kemudian setelah itu ia memiliki rencana lain untuk Indira.

Nicolaas menghela nafas, wajahnya lesu. Merasa Indira mungkin tidak akan datang, akhirnya ia kembali memfokuskan diri mendengar penjelasan coachnya.

Semoga dia tetap datang..

•ʚɞ•

Indira berlari kalang kabut membelah keramaian bandara. Tangisnya sudah berhenti sedari tadi, tinggal rasa menyesakkan yang tertinggal di benaknya. Penyesalan sudah menghantui sedari tadi. Ia berlari tergesa menuju loket pembelian tiket.

Welkom.” seorang pegawai penjaga loket langsung menyambutnya dengan senyuman begitu Indira berdiri di depan loket pemesanan.

Indira menarik sudut-surut bibirnya membentuk lengkungan untuk membalas senyum si petugas, sekalipun nyatanya bibir itu bergetar. “Welkom. Saya ingin pesan satu tiket pesawat tujuan Indonesia dengan jam terbang terdekat dari sekarang.”

Pegawai itu mengangguk, tangannya sibuk mengecek komputer, “Ada penerbangan satu jam lagi, Nona. Tujuan bandara mana dan pemesan atas nama siapa?” bunyi keyboard terdengar beberapa kali.

“Bandara Soekarno-Hatta. Atas nama Indira Prisa.”

Setelah memakan waktu cukup lama untuk mengurus tiket keberangkatan. Indira kini sudah menunggu dengan terbengong di kursi tunggu. Orang sibuk berlalu-lalang menyeret koper masing-masing. Indira terkekeh, ia bahkan tidak membawa apa pun.

Hello in NetherlandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang