tiga

240 16 0
                                    

Salju kembali turun cukup lebat saat bulan telah bertengger asik di permadani malam ini. Dan kebetulan saja Indira baru kembali dari kantornya. Ia berjalan sembari mengeratkan mantel dan pading yang sengaja ia pakai menumpuk, sarung tangan, dan jangan lupakan syal yang menutup rapat lehernya. Indira suka musim dingin, tapi terpaan salju ditengah kacau badannya seperti ini bukanlah sesuatu yang bagus. Jadi, daripada ada hal merugikan yang akan datang, lebih baik Indira mencegahnya dari sekarang.

Saat hendak menekan tombol lift, Indira tertegun saat menyadari sesuatu. Stok coklat di apartementnya sudah habis. Mendesah lelah, ia berjalan gontai meninggalkan lift yang akan membawanya menuju unit apartemennya yang kini tak ubah layaknya kapal pecah. Indira yakin kalau-kalau saja ibunya ada disini dan masuk ke dalam unitnya, sudah pasti istri dari bapak Milan Prisa itu akan pingsan.

“Katanya coklat buat bahagia,” Indira memandang lesu orang berlalu-lalang. “Tapi aku kok ngenes mulu sih?”

“Kurang ibadah kali, ya?” gumamnya lirih.

“Ini juga! Ranselnya kenapa pake berat banget sih?! Lah iya, baru inget kalau lagi bawa harapan keluarga.” Indira tertawa mendengar ocehannya sendiri. Mungkin orang-orang yang melihatnya akan menganggap ia gila, tapi Indira rasa ia memang sudah gila. Manusia waras mana yang habis berucap lalu tertawa sendiri?

Aku 'kan lagi ngetawain hidup ku sendiri. Batin Indira menyangkal gejala awal kegilaannya.

“Lama-lama kayaknya aku bakalan gila beneran,” ia menghela nafas, merasakan bertapa lelah tubuhnya saat ini. “Ya siapa yang nggak gila?! Skripsian sambil magang, anjir!”

Indira berhenti sesaat untuk melihat tulisan besar di atas pintu supermarket yang didirikan di dalam gedung apartemennya ini. Ia melangkah masuk, mengambil troli belanja dan mulai menyusuri lorong satu per-satu.

Gedung apartemen yang ia tempati memang salah satu gedung elit. Sebenarnya tidak semua berisikan manusia elit, dari lantai dua belas sampai lantai dua satu adalah lantai milik orang-orang kaya yang bahkan sanggup membeli kapal. Sisanya, dari lantai dua sampai lantai sebelas adalah milik kaum-kaum setengah kaya. Indira bukan kalangan manusia-manusia kelewat kaya itu, Indira dapat menempati satu unit di apartemen ini sebab gaji selama ia magang benar-benar berada di skala besar hingga akhirnya ia berhasil memiliki unit apartemen sesuai keinginannya.

Awalnya Indira merasa heran saat perusahaan memberikannya gaji bahkan saat ia mendaftar untuk magang, tapi sepertinya pimpinan perusahaan itu terlalu berbaik hati hingga menyisihkan uang untuk menggaji para karyawan magang. Atau mungkin pimpinan itu sudah bosan melihat uang berlimpah ruah. Indira mengedikkan bahu, menghapus pikirannya yang sudah melantur kemana-mana.

Fokus menatap rak di depannya, Indira terdiam untuk berpikir cukup lama sebelum akhirnya meraih tiga batang dark chocolate, ia bergeser ke rak berikutnya untuk mengambil dua susu kotak bubuk rasa coklat dan memasukannya ke dalam troli. Ia mendorong troli menuju rak-rak yang menyediakan susu cair siap saji, meraup setidaknya lima belas susu kotak full cream dan memasukkan ke trolinya dengan semangat. Minuman manis adalah favoritnya saat hampir mati mengerjakan skripsian.

Ia berhenti di depan rak berisi buah-buahan, memasukkan apel dan mangga ke dalam trolinya. Merasa yang ia butuhkan sudah cukup, Indira kemudian mendorong troli menuju mesin kasir.

Indira celingukan menatap sekeliling yang sepi, orang-orang sibuk memilih barang di tengah lorong-lorong rak yang rumit dan membiarkan mesin kasirnya sepi. Ia tersenyum, mungkin Tuhan sedang mempermudah urusannya.

Saat sampai di area kasir, Indira hanya menangkap seorang pria tinggi tengah berdiri sambil menatap bingung pelayan kasir yang sedang menjelaskan sesuatu.

Satu menit hingga lima menit Indira masih merasa santai, tapi tepat di menit ke sepuluh ia akhirnya mendecak dan berjalan maju menghampiri meja kasir saat orang-orang yang mengantre di belakangnya menjadi begitu berisik.

“Maaf, apakah ada yang bisa saya bantu?” perkataan Indira berhasil menarik perhatian dua manusia berbeda gender itu.

Si pelayan kasir tersenyum sopan kepada Indira, “Nona, kartu Tuan ini terblokir dan ia tidak membawa uang case.”

Indira mengangguk paham, mengerti titik masalahnya ada dimana. Ia mendongak untuk menatap pria yang jauh lebih tinggi darinya, pria itu lantas membuang muka sembari mengusap telinganya yang perlahan memerah. Indira tersenyum saat tahu pria itu tengah menahan malu.

“Tuan ini belanja apa saja?” tanya Indira pada si pelayan kasir.

“Dia membeli satu bungkus rokok.”

Indira tersenyum, “Satukan saja dengan belanjaan ku.” ia melirik barisan panjang mengekor di belakang punggung pria itu, “Kasian yang lain sudah mengantre cukup lama.”

Meraih kertas belanjaannya saat pegawai supermarket itu menyerahkan belanjaannya, ia membawa di depan dada menggunakan dua tangan sekaligus. Mendecak saat merasa belanjaannya menjadi begitu berat.

“Terimaksih.” ucap pria itu.

Indira terkesiap, baru sadar pria itu berdiri di sisinya. Ia mendongak untuk menatap pria itu, “Sama-sama.”

“Oh, iya! Ini rokok anda.” ucap Indira sambil menyodorkan satu bungkus rokok kepada pria itu yang disambut dengan senyuman. “Terimakasih lagi.”

Indira terkekeh geli melihat bagaimana ekspresi lucu saat pria itu mengucapkan terimakasih kepadanya, “Iya.”

Pria tinggi itu tersenyum lagi, “Perkenalkan saya—” ucapannya tergantung saat dering ponsel terdengar dari pading yang digunakan si pria.

Indira mengerjap, merasa familiar dengan sosok pria yang ada di hadapannya. Ia terpaku untuk mengingat-ingat, menggalih otaknya yang sudah sangat penuh dengan berbagai rumus dan istilah.

Beberapa detik kemudian pria itu menurunkan ponselnya, “Maaf sepertinya saya harus pergi. Sekali lagi terimakasih atas bantuannya.” ucap si pria sebelum berlari dengan tergesa menjauh dari sisi Indira, bahkan mereka belum saling memperkenalkan diri.

Indira mengangguk kaku, otaknya masih berusaha mencari jawaban. Sesekon kemudian matanya membulat lebar-lebar, bibirnya terbuka lantaran ia sangat terkejut dengan ingatan yang berhasil ia kumpulkan. Ia tersentak, menandang lamat-lamat jalan yang pria itu tadi lalui.

“HAH?! PRIA ITU SI PENCURI BUKET DAN PRIA BAIK DI LIFT?! GIMANA BISA?!”

ʚɞ
to be continue
see u lovee

—author's note : terimakasih atas penantian tulus kalian kepada cerita ini. aku minta maaf apabila ada ketidak selarasan kata/informasi dalam cerita. aku akan terus berusaha untuk memperbaiki tulisan ku. tolong nantikan cerita ini dengan tulus, terimakasih.

26/12/23
©_nyllachyya

Hello in NetherlandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang