dua

302 15 0
                                    

Tepat pada hari senin, dosen pembimbing mengabari Indira bahwa dosen itu siap melakukan bimbingan pada hari ini. Tapi Indira mengeluh, harusnya memang ia lebih sadar diri kalau mau cepat-cepat lulus. Indira mengeluh bukan tanpa sebab. Coba bayangkan saja, bagaimana bisa dospemnya memberikan jadwal pukul 6.20AM dan mau tidak mau akhirnya Indira yang tidak sempat tidur kini sudah berjalan menuju lift. Pukul 5.50AM ia sudah harus berjalan di lorong apartemen yang sepi. Dan demi Tuhan, sekarang adalah musim dingin, udara di luar mungkin bisa membekukan otaknya yang hampir meleleh. Indira mengerang.

Tinggal lama di lingkungan ini membuat Indira sudah banyak paham. Hampir seluruh penghuni apartemen adalah orang-orang sibuk yang pastinya hanya akan keluar bila ada keperluan mendesak saja seperti mencari makan, selain bekerja dan kuliah. Lingkungan yang cocok untuk jiwa introvertnya. Dan karena itu juga lorong yang selalu sepi menjadi musuh bagi Indira, setiap ia jalan selalu merasa ketakutan dan penyebab terbesarnya adalah unit kosong di depan unitnya.

Indira mendesah, berjalan gontai menuju lift yang sudah ada di depan mata. Menyandarkan tubuh pada lift setelah menekan tombol turun, sempat-sempatnya ia menutup mata. Meresapi tubuhnya yang remuk setelah hampir berbulan-bulan ia kehilangan waktu tidur layaknya manusia normal, dapat tidur satu jam saja rasanya Indira sudah sangat bersyukur.

"Harusnya ada ilmuan yang buat pintu kemana saja,"

Magang dan menggarap skripsi di semester tua menjadi perpaduan yang cukup membuat Indira merasa akan mati saat ini juga. Ia tidak tidur dari kemarin, pekerjaan di kantor tempatnya magang sangat menumpuk karena ia hampir mencapai batas deadline. Client sudah banyak menuntut, mau tidak mau akhirnya Indira mengalah, ia menyisihkan skripsinya dan kemudian lebih memilih membelai kertas-kertas besar berisikan desain rumah impian.

Menjadi mahasiswi semester tua di detik-detik akhir prodi Arsitektur harusnya Indira sudah tahu konsekuensi mengerjakan skripsi dibarengi magang, apalagi magangnya ada di perusahaan besar yang pastinya memiliki banyak client. Selama satu tahun magang sudah lebih dari tujuh orang yang ia tangani, sedikit banyak ia merasa bersyukur sebab orang-orang penting itu mau menyerahkan gambaran rumah impian mereka kepadanya dan pastinya rating bagus Indira selama magang juga akan menambah nilai plus untuk skripsinya.

Hawa hari ini lebih menusuk daripada hari kemarin, salju turun cukup lebat tadi malam. Tapi karena tugasnya menumpuk, Indira tidak dapat bercumbu mesra dengan salju-salju seperti tahun kemarin. Ia mendesah, matanya masih tertutup saat Ia membenarkan letak syal yang sengaja ia pakai.

"Orang-orang sibuk nyiapin natal, tapi aku masih sibuk sama tugas segunung Everest ini." decak Indira.

Denting satu per-satu terdengar menandakan ia telah turun melewati beberapa lantai. Tinggal satu lantai lagi dan kemudian ia harus menerjang salju untuk sampai di kampusnya.

Dering ponsel berbunyi, mengalihkan perhatian Indira yang tadi tengah menghitung detik. Merogoh padingnya yang tebal, Indira meletakkan ponselnya di sisi telinga saat menerima panggilan itu.

"Kenapa, Mel?" sapa Indira kepada teman seperjuangannya.

Membenahi ransel yang tiba-tiba merosot, Indira menghimpit ponsel di tengah-tengah telinga dan pundaknya. Ia bahkan tidak menoleh saat seseorang masuk ke dalam lift. Indira baru tersadar saat denging lift berbunyi sebagai penanda lift akan tertutup lagi. Ia menghentak kasar ransel di punggungnya sebelum dengan terburu Indira memencet tombol agar lift tidak dulu naik.

"Kamu bimbingan 'kan hari ini? Gimana nanti kalau kita nongkrong dulu sehabis kamu selesai bimbingan?"

"Aku nggak bisa, Mel."

Indira berjalan tergesa keluar dari dalam lift sampai tidak sadar bahwa salah satu gulungan desainnya jatuh dan tertinggal di dalam lift. Ia sibuk melanjutkan bicara dengan temannya, sampai ketika suara maskulin seorang pria memanggilnya membuat langkah Indira terhenti.

Hello in NetherlandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang