dua puluh tiga

78 4 0
                                    

Indira berjalan semangat menyusuri lorong menuju unit Melissa sembari tangannya membawa kantong belanjaan yang berisi beberapa buah dan camilan, tadi dia sempat meminta tolong kepada Nicolaas untuk mampir di salah satu supermarket sebelum pria itu mengantarnya ke gedung apartement yang ditinggali Melissa. Gedung apartement Melissa tidak selengkap gedung apartementnya, maka dari itu tadi Indira meminta Nicolaas mampir di supermarket luar.

Sudah lama tidak bertemu Melissa, Indira jadi rindu perempuan itu dan sedikit khawatir terjadi hal-hal yang tidak diinginkannya.

Indira menggeleng, mengenyahkan pemikiran itu saat sudah berdiri tegap di depan pintu unit Melissa.

“Langsung masuk aja kali, ya? Takut buat repot Melissa kalau harus bolak-balik bukain pintu.” ucapnya sebelum jemarinya kemudian menekan tombol password di pintu apartement Melissa.

Indira mendesah setelah pintu terbuka, dia melangkah masuk dan menutup pintu sebelum kemudian masuk lebih jauh.

“GILA! AKU NGGAK MUNGKIN GUGURIN INI!!!”

“GUGURKAN!!” suara lebih berat dan keras terdengar menyauti.

Dia mengernyit saat mendengar suara keras yang bersaut-sautan. Tangannya bergemetar saat menyadari lawan bicara Melissa. Jemarinya mengepal, ya, Indira pasti tidak salah mengenali suara itu.

Ia melanjutkan langkahnya sambil berharap bahwa apa yang ia dengar bukan seperti apa yang ia bayangkan. Tapi semuanya salah, yang Indira bayangkan benar-benar terjadi. Genggamannya pada totebag belanjaan terlepas, barang bawaannya bercecer di lantai berdebum dengan bunyi benturan keras. Ia berdiri membisu tak percaya di ambang jalan yang menghubungkan lorong pintu dengan ruang tengah apartement. Tangannya bergemetar hebat saat melihat dua orang yang sedang berdebat di hadapannya.

Bayi itu?

Ia terkekeh miris,

“MARCO!!!” teriakan keras Indira membuat dua insan yang sedang berdebat keras itu mengalihkan pandangan menatap sumber suara yang meneriaki nama Marco. Keduanya membelalak melihat Indira berdiri di ambang jalan menatap mereka tidak percaya.

Tak terasa air mata Indira mengalir begitu saja, ia bahkan tak merasakan apa pun dan tiba-tiba air matanya mengalir melewati pipinya membentuk aliran sungai. Kakinya terpaku, tangannya bergemetar, rasa nyeri menjalar hebat di ulu hatinya. Sesuatu sangat menyakitkan sampai ia tidak merasakan apa pun.

“Maksud kalian apa?” tanyanya masih enggan mempercayai apa yang ia dengar tadi.

Demi Tuhan! Aku mendengarnya! Aku mendengarnya! Bayi itu.. dia anak Marco!

Pandangan Indira beralih menatap Marco, netra gadis itu memerah, “Marco, maksud semua ini apa?” bibirnya bergetar.

Indira beralih menatap Melissa yang tertunduk. Dia mengepal kuat, “Tolong jelasin maksud pembicaraan kalian tadi?” Indira masih sangat berharap kalau apa yang didengarnya tadi adalah sebuah kesalahan dari pendengarannya. Tapi, melihat kedua manusia itu tidak bergeming, Indira seperti menelan pil pahit.

“K-kalian bohong 'kan?” ia menatap Marco, “Marco? Kamu prank aku 'kan?”

Indira tergugu, linangan air mata sudah tidak bisa ia bendung lagi. Indira terisak kuat, bahkan harus sampai menumpukan salah satu tangan ke tembok yang ada di sisinya saat ia rasanya sudah tidak mampu menopang berat badannya sendiri.

“Jadi, selama ini.. bayi itu? Kalian mengkhianati ku?” tanyanya lirih tak percaya. Melissa menyambut dengan gelengan kepala brutal, perempuan itu terisak tak kalah hebat dengan Indira.

“Apa maksud gelengan mu, Melissa?” ia terkekeh culas, “Jadi selama ini aku melindungi bayi dari kekasih ku sendiri? Oh, maaf, kita udah mantan 'kan, Marco? Selama ini aku hidup di tengah permainan kalian, begitu?”

Hello in NetherlandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang