tujuh belas

79 5 0
                                    

Pukul tujuh malam tepat yang seperti bartender itu janjikan kemarin, Indira kini dalam perjalanan menuju Dimension Star, bar yang sama seperti saat kemarin ia menjemput Marco. Setelah memikirkan dalam pertimbangan cukup lama, akhirnya Indira memutuskan untuk datang, banyak sekali pikiran tentang Marco memenuhi otaknya. Sifat aneh satu bulan lalu, dimana saat Marco tidak mendatanginya sama sekali tiba-tiba saja membuat Indira curiga. Dan bahkan pria itu tidak menghubunginya seharian ini.

Indira memberikan uangnya kepada supir taxi sebelum keluar dari dalam mobil. Gadis itu mengeratkan mantelnya, menahan nafas saat melihat gedung bertingkat salah satu bar yang terkenal di Den Haag. Dia memejamkan mata sebelum kemudian melangkah berjalan masuk.

Bunyi bising musik dan lampu disko yang menyorot sembarang menyambut kedatangan Indira. Ia terhenti, menatap banyaknya orang meliuk-liuk di lantai bawah, bergerak lincah mengikuti irama musik yang sangat bersemangat. Netra Indira berpendar, mengingat-ingat lagi sekiranya dimanakah meja bartender yang kemarin ia datangi.

Dari lantai yang cukup tinggi berundak ini akhirnya Indira dapat menangkap meja bar yang sedang dipenuhi oleh beberapa orang. Dia menggenggam erat kedua tangannya sendiri, melangkah berjalan tanpa ragu ke arah bartender itu.

“Hai! Tidak ku sangka kamu akan datang!” ucap Calvin membuat Indira terkesiap, terkejut dengan sambutan tiba-tiba yang diberikan Calvin, apalagi dengan suara berat pria itu yang harus berteriak karena bersaing dengan kebisingan bar.

Indira mengangguk, mendudukkan diri di salah satu stool di depan meja bar yang tinggi.

“Saya tidak ingin basa basi. Tolong katakan dengan cepat dan jelas.” balas tegas Indira. Rahang gadis itu mengetat, sangat tidak suka mencium aroma alkohol yang begitu kuat saat pria itu menyodorkan salah satu botol red wine kepadanya.

Pria itu menarik lagi botolnya, menatap Indira sambil mengangkat botol ditangannya, “Tidak ingin minum? Aku punya banyak rekomendasi.”

“Tidak. Terimakasih.”

Calvin tertawa melihat wajah dingin Indira, gadis itu tampak berbeda dengan gadis yang beberapa kali diceritakan oleh kawannya.

Calm down, dude.” Calvin keluar dari balik meja bar, meletakkan apron di atas meja, pria itu berjalan mendekati Indira yang masih duduk diam di atas stool.

“Tidak enak berbicara disini,” pria itu menunjuk salah satu sofa di sudut ruangan yang cukup sepi. “Kita berbicara di sana saja.” ucapnya.

Indira menaikkan salah satu alis, menatap waspada, “Saya tidak bisa menerima itu. Kamu bisa saja membahayakan saya!”

Calvin tertawa, “Oh? Aku tidak berani untuk itu.”

“Bisa saya pegang ucapan mu?”

“Tentu. Dengan senang hati. Mari ikuti aku.”

Indira berjalan mengikuti langkah Calvin yang panjang. Saat tiba, ia duduk di sofa yang ada di sebrang sofa Calvin, berjaga-jaga siapa tahu ada kemungkinan buruk akan terjadi seperti apa yang ia pikirkan sedari tadi.

“Wajah mu jangan tegang begitu,” Calvin meraih botol air mineral dan memberikannya kepada Indira. “Tidak enak dilihat, kamu tahu.” ia mengendik saat Indira menolak minum yang diberikannya.

“Saya tidak mau menerima konsekuensi buruk apa pun karena minuman itu.” tuding Indira kepada botol air mineral yang ia tolak dari Calvin.

Calvin tersenyum miring, menyilangkan kedua kakinya, pria itu menatap, “Kamu menarik. Aku suka dengan gadis yang sangat waspada.”

“Saya tidak ingin bermain-main. Waktu saya sangat berharga. Tolong katakan saja!” tekan Indira. Ia sedari tadi banyak waspada melirik sekitar, mencari celah untuknya kabur bila saja tiba-tiba terjadi hal yang tidak mengenakkan.

Hello in NetherlandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang