tiga puluh tiga

85 6 0
                                    

Nicolaas menatap gumpalan awan melalui kaca jendela pesawatnya. Ia melamun. Satu minggu yang lalu ia diberitahukan bahwa timnas Indonesia memanggilnya dan Nicolaas harus bersiap untuk mengikuti pertandingan di negara itu. Pikirannya sudah kacau sejak tiga bulan yang lalu dan Nicolaas selalu mengatasinya dengan latihan bola terus menerus sampai coachnya sendiri menegur.

Nicolaas teringat satu hal yang di ucapkan Momnya saat ia mengatakan akan terbang ke Indonesia.

“Kamu akan terbang ke Indonesia, Nic?” tanya Sorayma diangguki oleh Nicolaas.

Sorayma terdiam sesaat, kemudian setelah beberapa detik hening akhirnya ia berucap,

“Bukankah Indira berasal dari Indonesia?” ucap Sorayma membuat Nicolaas terkesiap dan terpaku cukup lama.

Nicolaas terdiam menatap jauh awan-awan yang menggumpal.

We never know, Nic. Kewarganegaraan ku 'kan Indonesia, aku bisa pulang kapan aja kesana.”

Pikiran Nicolaas tiba-tiba teringat dengan ucapan Indira saat gadis itu mengotot agar bisa menonton pertandingannya untuk yang pertama kali saat Indira baru saja keluar dari rumah sakit setelah beberapa hari harus rawat inap.

Nicolaas terkesiap, ia tersadar dari lamunan panjang saat seseorang menepuk pundaknya tiba-tiba.

“Melamun terus!!” ucap Calvin.

Nicolaas mendengus, “Biarlah!”

“Biirlih!” cibir Calvin. Dia menatap Nicolaas, cukup prihatin melihat sahabatnya itu menjadi sangat terpuruk sejak tiga bulan yang lalu.

Calvin menghela nafas, kembali menyandarkan tubuhnya di kursi pesawat. “Kan sudah ku bilang cepatlah mengungkapkannya,” melirik Nicolaas dari sudut mata. “Kamu terlalu banyak denial!

“Dia sudah pergi. Aku bisa apa? Aku bahkan tidak bisa menghubungi ponselnya lagi.”

Calvin memutar bola matanya malas, “Dulu, bodoh! Kalau sekarang pun aku tahu Indira sudah tidak di sini!” mendekatkan diri lagi kepada Nicolaas. “Kamu melamunkan apa lagi memang?”

Nicolaas mengernyit sebelum menjawab,

“Indira berasal dari Indonesia.” jawabnya. Ia mengendik, “Aku ingin berharap.” lanjutnya.

Calvin mengangguk-anggukkan kepala, “Ya, ya. Aku paham.” ia berbalik, menatap Nicolaas terus terang. “Lalu kamu akan mencarinya?” tanyanya penasaran.

“Mungkin?”

“Kenapa kamu terdengar ragu?”

Percakapan mereka terhenti saat pramugari mengatakan pesawat yang mereka tunggangi akan segera mendarat. Nicolaas menatap landasan pesawat dari kaca jendela, ia menghela nafas. Dalam benaknya ia berharap kalau selama ini Indira ada di negara ini, negara yang sangat jauh dari tempatnya tinggal.

•ʚɞ•

Indira mendecak, jemarinya yang sudah hendak menekan tombol on pada televisi harus gagal karena Milan Prisa selaku ayahnya itu menyuruh ia dan adiknya yang bernama Fazwan Prisa untuk membeli martabak. Jangan tanya kepadanya kenapa nama keluarganya sangat singkat karena hanya tersusun dengan dua kosa kata, tanyakan saja kepada ayahnya, alasan paling logis untuk menjawab pertanyaan itu adalah mungkin pria dewasa setengah abad itu terlalu malas menciptakan nama panjang terlalu.

Setelah wejangannya bunda minggu lalu, kini Indira sudah jauh lebih membaik. Intensitasnya menangis pun berkurang perlahan, meskipun terkadang ia bisa memangis tanpa sebab. Dan demi memulihkan dirinya dari kesedihan yang berlarut-larut itu kini Indira mulai mendekatkan diri lagi dengan keluarganya, contoh sederhananya yaitu saat ia memilih menonton televisi bersama, tak seperti beberapa bulan lalu yang ia selalu ada di dalam kamarnya saja, jarang keluar dan membaur.

Hello in NetherlandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang