sepuluh

129 10 0
                                    

Malam pertama kalinya Indira bertemu dengan kedua orang tua Nicolaas membuat gadis itu tidak bisa mengontrol raut wajah terkejut dan bingungnya. Keadaan menjadi begitu membingungkan hingga ia akhirnya iya-iya saja ketika ibu Nicolaas menyuruhnya untuk tinggal sementara di rumah mereka yang dimana artinya Indira tinggal bersama keluarga Nicolaas, ya, bersama pria itu juga. Alasannya karena pelaku yang masih berkeliaran dan ditakutnya mereka akan membahayakan Nicolaas serta Indira.

Dan kini Indira masih tetap bingung bagaimana tadi malam ia bisa menjadi begitu pasrah diboyong ke rumah keluarga tetangganya itu. Indira masih sibuk melamun di kamarnya, kamar tamu yang disediakan untuknya selama ia tinggal disini.

Indira mengernyit, meraba tubuhnya sendiri, panik karena ia tidak menemukan ponselnya. Saat ia sudah meloncat dari kasur untuk mencari ke seluk-beluk kamar, barulah ia tersadar kalau ia tidak sedang ada di kamar unit apartementnya sendiri dan ia juga baru sadar kalau ponselnya masih ada di kantor polisi untuk penyelidikan lebih lanjut.

Dia mendesah, melempar kasar tubuhnya sendiri ke kasur, matanya menjelajah setiap sudut kamar. Merasa bosan karena ia sama sekali tidak membawa barang elektroniknya yang bisa ia gunakan untuk menghibur diri, akhirnya Indira memutuskan untuk keluar kamar. Rumah besar bergaya modern ini masih begitu sepi, kemudian Indira tersadar lagi kalau waktu baru menunjukkan pukul 4.30AM, ia sudah terbiasa terbangun cepat. Merasa tidur lagi juga bukan pilihan bagus karena ia akan bangun sangat siang kalau melakukannya, akhirnya Indira memilih berjalan ke dapur rumah ini yang luas.

“Sudah bangun?”

Indira terkesiap saat mendengar suara rendah seseorang memasuki pantry, gadis itu bahkan sampai menjatuhkan sendok digenggamannya. Mendapati tubuh tinggi menjulang milik Nicolaas berdiri di ambang jalan menuju pantry.

Indira mendekat, memeta tubuh Nicolaas dari atas hingga bawah. Kemudian ia memberengut, “Kamu masih sakit! Kenapa bangun?”

Melewati Indira dengan langkah terseok, Nicolaas meraih gelas kaca lalu mengisinya dengan air mineral. Mengangkat gelas digenggamannya, memperlihatkan kepada Indira, “Saya haus.” katanya, mulai menenggak airnya dalam keadaan berdiri.

“Kamu juga, kenapa bangun?” tanya Nicolaas setelah selasai menenggak airnya, meletakkan gelas di atas wastafel, kemudian berbalik untuk duduk di stool yang ada dan memerhatikan kegiatan Indira di dapur.

“Aku biasa terbangun jam segini.”

Alis Nicolaas terangkat sebelah, tertarik dengan jawaban Indira. Dia menyamankan duduknya, menyandarkan siku di meja marmer di depannya, menopang pipi dengan kepala yang ditelengkan menggunakan telapak tangan kanan.

“Sepertinya kamu sangat sibuk, ya?”

Indira terkekeh, meraih panci dan mengisinya dengan air yang cukup, diletakkan panci itu di atas kompor. Indira berbalik menatap Nicolaas setelah menyalakan api.

“Nggak juga,” ia mengendik. “Beberapa bulan lalu emang sibuk mengurusi skripsi dan beberapa pekerjaan di tempat magang. Aku rasa karena itu akhirnya aku terbiasa bangun sangat pagi. Tidur satu jam sehari adalah anugrah asal kamu tahu.”

Nicolaas mengangguk, “Sepertinya begitu.” jedanya saat Indira bertanya masih adakah coklat lagi karena gadis itu hanya menemukan satu batang di dalam kulkas.

“Coba kamu cek di bagian paling atas, Irina baru membelinya kemarin atas permintaan Mom.” jawab Nicolaas mengenai pertanyaan Indira tentang coklat tadi.

Indira hendak bertanya siapa wanita yang namanya disebutkan Nicolaas, namun gadis itu segera melupakan niatnya saat air yang ia rebus sudah mendidih. Dia sibuk dengan pekerjaannya dan Nicolaas yang memeta segala pekerjaan Indira.

Hello in NetherlandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang