Chapter 9

2K 142 8
                                    

"Ma, maafin Chenle ya?" ujar Chenle begitu mamanya sudah mau ditemui, atas bujukan sang papa.

Tidak ada tanda-tanda jawaban dari mamanya.

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

Dan seterusnya Chenle didiamkan, tidak dihiraukan, sampai akhirnya terdengar isakan dari sang mama.

"Ma?"

Chenle mendekat, matanya ikut memanas melihat mamanya menangis. Sebisa mungkin ia tahan meskipun setetes dua tetes air mata mengalir di pipinya.

Sementara sang papa membiarkan dua orang tersayangnya hanyut dalam perasaan masing-masing. Ia cukup sadar kalau perasaan sayang mereka pada Chenle lebih besar daripada rasa kecewa. Sudah enam bulan dan Chenle semakin tumbuh dan berkembang.

"Nak," sahut sang ibunda dengan suara paraunya.

Chenle menoleh, ia tersenyum seraya menjawab, "Iya, Ma?"

"Maaf kalau kami lalai mendidik kamu," kata sang mama.

Tidak ada balasan dari Chenle, ia cukup mengerti apa yang mamanya bicarakan. Tidak lain dan tidak bukan adalah tentang orientasi seksualnya.

Apakah di zaman sekarang, orientasi seksualnya tetap salah? Jika iya, lalu mengapa bisa timbul "rasa" pada sesama jenis? Apa Tuhan tidak bisa mematikan perasaan menyimpang ini? Bukankah kita sebagai manusia pasti disetir oleh sang pencipta? Termasuk hati dan perasaan?

"Maaf karena kamu harus kerja keras sendirian, merantau dari tempat tinggal dan jauh dari orang tua. Maaf kami lalai telah melepasmu dengan keadaan bebas."

Hati Chenle berdesir, apakah artinya sang mama tidak merestui perasaannya?

"Nak, maaf tapi perasaanmu itu salah."

Chenle tersenyum miris, perasaannya yang bagaimana yang salah? Perasaan cintanya pada Jaemin? Atau rasa jatuh cinta pertama kalinya ini yang salah? Ataukah pelabuhan cinta pada orang yang bukan mereka inginkan yang menjadikannya salah? Chenle benar-benar clueless.

"Mama akan ngerti kalau kamu jatuh cinta sama gadis lain yang buat kamu menolak dijodohkan dengan Ningning," jeda sang mama. "Tapi Mama gak bisa ngerti kalau ternyata perasaan kamu itu sama laki-laki, sebagus dan semenarik apa dia sampai kamu nolak Ningning?"

Chenle tidak terima.

"Ma, Chenle nolak perjodohan bukan karena suka sama cowok. Emang dari awal Chenle gak ada perasaan ke Ningning," balas Chenle dengan tegas.

Sang mama tidak ingin mendengar apapun. Ia cukup malu mengetahui anaknya seorang gay.

"Maaf karena Chenle bikin malu," katanya yang tepat sasaran. "Semoga Mama lekas sembuh, Chenle pamit."

Selepas Chenle pergi, sang mama kembali menangis.

"Ma," panggil papanya Chenle, membuat sang mama menoleh. "Enam bulan ini kita udah jauh sama Chenle loh. Dia udah kerja keras di sana, hidup mandiri, dan selalu ngirim sesuatu untuk kita meskipun hubungan kita bertiga lagi gak baik."

Tidak ada tanggapan.

"Awalnya Papa juga gak terima sama perasaan Chenle. Pasti banyak kolega Papa yang akan mengolok jika tau tentang itu. Tapi Papa gak tau harus gimana. Chenle udah besar dan itu perasaan pertamanya. Apa harus kita menyalahkan perasaan dia?"

"Salah besar itu, Pa!" kata mama. "Papa tau kan sepupu laki-laki Mama yang dulu jatuh cinta sesama jenis berakhir diasingkan oleh keluarganya? Mama takut Chenle juga begitu. Sebelum perasaannya semakin jauh, kita harus membawa Chenle kembali, Pa."

NZ Story || Jaemle [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang