[OG 28] Tatapan Teduh

158 17 0
                                    

"Dia datang membawa sejuta rasa suka, lalu ia pergi meninggalkan bekas duka."

- Vocational High School -

Prawira Utama

Class RPL

- Student The Hidden Network -

❗❌👻❌❗


“Mei! Neduh dulu ya. Gue nggak kuat bawa motor! Hujannya deras banget!” teriak Danish mengendarai motor ugal-ugalan.

Meina tidak menggubris teriakan Danish. Indera pendengarannya seakan tuli sebab guyuran hujan yang lebat, membasahi tubuhnya hingga basah kuyup.

Danish memarkirkan motornya ditepi jalan. “Mei—”

“Kenapa?”

“Rumah gue deket dari sini. Lo ikut ke rumah gue dulu aja ya. Gue juga nggak yakin bakal selamat, kalau nganterin lo dalam keadaan basah kuyup kayak gini,” ujar Danish sedikit berteriak.

Meina menganggukkan kepalanya pasrah. “Gue ngikut aja, Nish.”

Setelah mendengar keputusan Meina. Sudut bibir Danish terangkat membentuk senyuman tipis. “Pegangan. Gue mau ngebut.”

Brum...

“DANISH!”

****

Meina merasa canggung ketika sudah sampai di halaman rumah Danish. Lelaki itu menuntun pergelangan tangan Meina, agar masuk ke dalam. “Ayok, Mei.”

“N-nish gue malu ...”

“Ngapain harus malu, 'kan ini rumah gue, ayok masuk. Diluar dingin, Mei. Hujannya deras banget.”

Meina mengigit bibir bawahnya bimbang. Tanpa menunggu persetujuan gadis itu, Danish segera menarik tangan Meina memasuki rumah sederhananya.

“Assalamualaikum! Bun! Bunda!”

“Wa'alaikumsalam, Danish!” sahut Evi menaruh celemek yang sedang ia pakai.

“Bunda lagi masak. Kenapa teriak-teriak?”

Danish menyengir kuda. “Ini Bun—”

“Loh Danish! Kamu kenapa basah kuyup kayak gini?!” kaget Evi saat menyadari lantainya basah akibat Danish berdiri mematung disana.

“Kehujanan di jalan, Bun. Oh iya, kenalin  Bun. Ini Meina,” ujar Danish memperkenalkan Meina yang sedari tadi menundukkan kepalanya di belakang.

“Hallo, Tan.”

Ketika Meina hendak meminta salam, pandangan Evi tiba-tiba datar. Bahkan uluran tangannya saja ia abaikan. Meina tersenyum menahan gelisah.

Aduh... Kok gue jadi grogi gini sih di depan Bundanya Danish? — batin Meina.

Danish mengernyit, tidak biasanya Evi bersikap jutek kepada tamunya. Ada apa ini?

“Bun?!” Danish mengernyit, seolah-olah bertanya kenapa?

Evi menatap Meina dari ujung kaki sampai ujung kepala. Tatapannya beralih kepada Danish, menarik baju basahnya agar tidak terlalu jauh.

“Ini perempuan yang kemarin kamu ceritain bukan? Anaknya tukang pesugihan?” bisik Evi pelan.

Danish meneguk salivanya kasar. Bagaimana kalau Meina dengar bisikannya? Sudah dipastikan gadis itu akan sakit hati. Bahkan mungkin tidak mau lagi menginjakkan kaki ke rumahnya kembali.

“Bunda apa-apaan sih?!”

Evi tersentak. “Bunda cuma nanya Danish. Tapi iya 'kan?”

Danish melirik Meina yang hanya menundukkan kepalanya dengan jari-jari tangan yang sibuk ia mainkan, kepalanya mengangguk pelan sambil menghela napas panjang.

Sedangkan Evi mendengus kesal. Menatap Meina tidak suka. “Ganti bajumu, Danish. Lantai rumah jadi basah tuh gara-gara kamu berdiri lama disitu.”

Danish mengangguk patuh. “Iya mau Bun. Emm... Bunda punya baju ganti nggak? Mau pinjem buat Meina.”

Meina mendongakkan kepalanya. “Ehh!n-nggak usah, Nish.”

“Nggak usah gimana? Baju lo juga basah Mei, ntar masuk angin. Ujung-ujungnya gue yang disalahin sama Bokap lo.”

Meina menundukkan kepalanya. Tanpa di duga Evi masuk ke dalam kamarnya, tak lama setelahnya ia keluar dengan pakaian ganti di genggaman tangannya.

“Nih kamu ganti baju. Jangan nyusahin anak Bunda. Dia udah hidup susah, jangan kamu tambahin beban pikirannya,” ketus Evi terdengar begitu cuek kepada Meina.

Tentu saja gadis itu terkejut bukan main. Saat hendak menolak tiba-tiba Danish bersuara.

“Bunda apa-apaan sih!” tegur Danish menahan emosi. “Mei—”

It's okay, Nish. No problem,” potong Meina tersenyum tipis.

Tatapan teduhnya beralih kepada baju ganti yang Evi sodorkan kepadanya. Gadis itu segera menerimanya, walau dengan hati dilingkupi rasa sakit akibat omongan Evi yang kurang baik.

“Permisi, Tan. Kamar mandinya dimana ya?”

“Lurus aja, terus belok kanan. Nanti juga ketemu,” jawab Evi begitu datar.

Meina menganggukkan kepalanya, berjalan melewati Danish yang menatap Evi tak percaya. Setelah punggung mungil Meina menghilang dibalik tembok. Barulah Danish berani berbicara.

“Maksud Bunda apa bersikap dingin seperti itu sama Meina? Nggak biasanya Bunda kayak gini loh.”

Evi mendengus kasar. “Kamu itu harusnya nggak bawa dia kesini. Merepotkan saja. Sudah Bunda katakan dari awal, jauhi anak itu. Keluarga mereka bukan keluarga baik-baik. Mereka berbahaya Danish! Bunda nggak mau kamu kenapa-napa.”

Tatapan yang tadinya datar berubah murung. “Bunda takut semakin kamu menjaga Meina, semakin dekat ajal menjemput.”

Danish terdiam kaku. “B-bunda tenang aja. Danish bisa jaga diri baik-baik. Bunda nggak usah takut. Meina baik kok orangnya.”

“Itu menurut kamu Danish, tapi menurut Bunda. Mereka sama saja biadabnya dengan musuh Ayahmu.”

Deg!

Memori tentang kematian Ayahnya berputar kembali. Danish menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak mau mengulang kenangan buruk yang menimpanya tahun lalu.

“Lupain Bunda. Danish ke atas dulu, kalau Meina udah ganti baju. Suruh dia ke kamar aku, jangan ancam dia, Bun. Meina nggak sama kayak Papahnya. Dia baik, dan dia tulus berteman dengan siapapun.”

Danish menghela napas panjang, berjalan menaiki tangga tanpa menoleh ke belakang. Sedangkan Evi mengepalkan tangannya, menahan sesak yang selama ini tengah ia pendam.

Tatapan teduh itu kian Evi layangkan ke arah tangga, dimana Danish melangkah memasuki kamarnya.

“Kamu nggak ngerti Danish, seberapa takutnya Bunda kalau kehilangan kamu di dunia ini,” gumam Evi menyeka air matanya yang hendak turun, membasahi kedua pipinya dengan bebas.

❗❌👻❌❗

OBSESSION GHOST [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang