Zayan berjalan menuruni tangga hendak ikut makan malam setelah dipanggil oleh Tristan yang sebelumnya berkutat di dapur membantu sang kakak sulung memasak. Dilihatnya meja makan sudah penuh dengan anggota keluarganya yang sudah memilih tempat duduk masing-masing. Dari ambang pintu juga ia bisa melihat hidangan yang tersaji diatas benda persegi panjang itu cukup banyak. Air liur menumpuk diatas lidahnya hanya dengan mencium berbagai aroma tersebut.
Hanya ada dua kursi kosong yang tersisa, disebelah Noah dan Hunter. Kiranya ia bukan yang terakhir sampai di meja makan. Terlalu lama baginya mengingat siapa yang belum datang, ditambah hidangan menggoda yang semakin membuatnya melupakan dunia. Baru saja ia berpikir untuk mengambil tempat disebelah Hunter, orang yang dimaksud malah lebih dulu memanggilnya setelah menangkap eksistensinya bahkan sebelum memasuki ruang makan.
"Ayan!"
Pemuda yang lebih tua satu tahun itu juga menepuk-nepuk tempat disebelahnya agar sang adik duduk disana. Tak lama setelah Zayan menempatkan bokong, Noah langsung memimpin makan malam hari itu.
Ketika sedang menikmati suapan pertamanya, Zayan menyadari bahwa kursi masih tersisa satu disebelah Noah. Ia dengan cepat men-scan wajah-wajah yang tengah duduk bersamanya. Dan benar saja, Zayan mendapati satu sosok tidak ada bersama mereka malam itu.
"Bang, Mora gak ikut makan?"
"Mora lagi kurang enak badan katanya, jadi nanti makanannya diantar ke kamar aja"
Zayan mengangguk mendengar jawaban Sorin. Namun sedetik kemudian seluruh atensi terpaku pada seseorang yang berbicara dengan nada meremehkan dan seolah tanpa beban diujung meja.
"Halah, anak kayak gitu ngapain masih dipikirin? Mending kasih Lisa aja makanannya, atau buat nambah porsi kita" – Mitena
"Aku gak mau makan jatah punya orang" – Tristan
"Gak ada yang nyuruh kamu makan! Tadi saya bilang kita, dan kamu harusnya sadar diri kalo mau jadi bagian dari kita" – Mitena
Agak menohok, namun Tristan tetap memasang wajah datar
"Kenapa mama pengen Lisa dapat bagian lebih banyak sementara Mora gak dapet sama sekali?" – Biru
"Lisa itu 'kan masih dalam masa pertumbuhan, jadi gak ada salahnya makan sedikit lebih banyak" – Mitena
"Bukannya Mora sama Lisa seumuran?" – Hunter
"Ya, tapi mereka beda! Lisa lebih layak dari segi manapun" – Mitena
Keenam pemuda itu terdiam, malas menanggapi karena mereka tahu jika pada akhirnya percakapan itu akan terus membawa Mitena pada hal-hal yang ia pikir perlu dibanggakan dari Elysa. Sangat memuakkan untuk didengar!
Merasa situasi mulai sunyi, Noah kembali memulai percakapan
"Hunter sama Biru gimana kuliahnya?" – Noah
"Baik kok!" – Hunter
"Gak ada kendala atau kekurangan nilai?" – Noah
"Enggak, pa!" – Hunter
"Bagus deh! Jangan sampai papa dengar salah satu dari kalian ada yang membolos" – Noah
Pria itu terkekeh kecil kemudian seolah apa yang baru saja dilontarkannya adalah candaan padahal tidak ada siapapun lagi yang menganggap seperti itu. Termasuk sang istri yang tampak fokus pada makanannya saja.
"Kalo Elysa gimana?"
"Seru, pa! Teman-teman Lisa baik semua!"
Iyalah baik, orang mereka lo perbudak
Itu Zayan yang mencibir dalam hati. Mana mungkin ia mau mengatakannya terang-terangan. Bicara dengan baik saja akan langsung dihakimi. Selama makan malam berlangsung, ia memilih untuk tidak bersuara sama sekali. Berbeda dengan Nathan yang terlihat sangat tidak leduli.
"Asyik tuh!"
"Asyik dong, pa! Apalagi ada mas crush di sekolah"
"Oh ya? Siapa?"
"Sayangnya beda kelas sama Lisa"
"Emang dia kelas apa?"
"11 Seni 2"
"Oh, anak seni"
Kelas Mora
Jelas enam kakak beradik itu tau betul siapa orang yang dimaksud Elysa. Bahkan Nathan reflek mengangkat kepalanya yang sedari tadi hanya menunduk, fokus pada makanan.
"Oh ya, kalo Elysa punya banyak teman, berarti Elysa populer dong di sekolah?" – Noah
"Iya dong! Mencontoh mamanya dulu" – Mitena
"Kalo gitu, beruntung dong cowok yang disukai Lisa itu!" – Noah
"Harusnya sih gitu, pa!" – Elysa
"Kenapa? Lisa ditolak? Tinggal cari cowok lain, yang suka Lisa pasti banyak!" – Noah
"Bukan gitu! Tapi cowok yang Lisa suka ada di dekat Mora" – Elysa
Para pemuda yang berada disana seketika terbelalak mendengar nama sang adik ikutan dibawa. Sudah seperti ini, pasti hanya kata-kata buruk yang akan terdengar. Entah apa maksud bocah itu menyinggung kembarannya sendiri.
"Anak itu lagi!" – Noah
"Pake ilmu hitam apa anak itu bisa deket sama cowok? Paling juga hasil cari perhatian doang!" – Mitena
"Aku selesai! Makasih makanannya..."
Tristan tiba-tiba bangkit dari kursi membuat suara-suara negatif di meja makan itu berhenti sejenak. Pemuda itu menatap ke salah satu orang disana, kakak tertuanya.
"Abang"
Setelah mengatakan itu dengan lirih, Tristan berbalik badan menuju dapur untuk mencuci tangan. Namun setelahnya, ia justru keluar dari sana dengan sepiring makanan.
Melihat itu, Nathan dan Zayan segera mengikuti langkah saudara mereka tanpa berkata apapun pada orang-orang yang masih tersisa di meja makan.
"Dasar gak punya sopan santun!"
Di lantai dua, Tristan mengetuk pintu putih itu beberapa kali sebelum membukanya. Ia mendapati ruangan tersebut masih disinari cahaya lampu dengan sang empu yang berbaring di bawah selimut dengan sebuah novel di tangannya.
"Bukannya istirahat!"
"Hehe...tadi udah cukup, jadi sekarang seger"
Tristan mengambil posisi di kursi meja belajar tepat disebelah ranjang
"Bangun dulu, makan!"
Dengan dibantu sang kakak, Mora bangkit perlahan dengan pusing yang samar menyergap. Mungkin efek dari berbaring terlalu lama.
"Makan sendiri apa disuapin?"
"Sendiri lah! Gue bukan bocil!"
"Kata siapa bukan bocil?"
"Gue udah SMA, bang!"
"Udah SMA juga tetep aja lu masih bocil buat gue"
"Bocil gue itu!"
Dari arah pintu, tiba-tiba saja Nathan menginterupsi dengan Zayan dibelakangnya. Tanpa pikir panjang, Nathan langsung naik keatas ranjang dan berbaring di paha Mora sambil memeluk perut gadis itu.
"Heh! Orang lagi makan juga!" – Tristan
"Biarin, gue gak gigit" – Nathan
"Gak gigit, tapi nyolong" – Zayan
"Cie...yang kecolongan start nya" – Nathan
"Tau ah lo licik!" – Zayan
"Diem lo pada! Biarin Mora habisin dulu makanannya, udah gitu kita tidur bareng disini" – Tristan
"Bareng lo? Ogah!" – Nathan
"Yaudah kalo ogah gausah tidur disini lo!" – Tristan
"Yeu...bilang aja pengen tidur sama Mora juga!" – Zayan
Sementara tiga pemuda itu berdebat, Mora merasa dapat tontonan yang mendampingi makan malamnya hari itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
House Of Eight
Teen FictionLo udah punya apa yang enggak mungkin gue punya, masih juga mau rebut apa yang gue punya? [Aghamora × abangs || Elysa × parents] Menyephobic dan uwuphobic dilarang datang ⛔ Harsh word bertebaran❕❗ 1 chapter = 800-1800 word