Seat

35 4 2
                                    

Weekdays bukan masa untuk berleha-leha bagi para pelajar dan mahasiswa. Itulah kenapa Nathan, Elysa, dan Aghamora sudah mengenakan seragam rapi bahkan ketika jarum pendek baru menunjuk angka enam. Ketiganya berkumpul di ruang makan terlebih dulu bersama anggota keluarga yang lain untuk menyantap makan pagi yang sudah disiapkan oleh Biru. Hari ini, memang pemuda itu yang bertugas menyiapkan sarapan sebab jadwal kuliah yang tidak terlalu pagi.

Lepas sarapan, ketiga remaja beserta Sorin segera menuju ke halaman. Bukan hal aneh jika Sorin menjadi supir pribadi mereka sebab hanya ia yang sudah menyelesaikan kuliah. Kini pemuda itu memegang salah satu cabang perusahaan sang ayah, jadi masih memiliki waktu untuk berbelok ke gerbang sekolah sebelum memarkirkan mobil di tempat parkir kantor.

Bukan pemandangan langka sebetulnya melihat Elysa yang mendapat pelukan Mitena dan Noah sebelum memasuki mobil. Namun entah kenapa Aghamora tetap terpaku menyaksikannya. Dalam hati ia mengaku, semenyedihkan apapun ia berdalih dan memohon, ia tidak akan pernah mendapat semangat pagi hari itu. Pada hari biasanya juga ia tak akan tergubris sama sekali.

Menyadari sang adik dalam mood yang tidak baik, Sorin menepuk pundak Mora membuat gadis itu sedikit tersentak.

"Mau datang bulan nih pasti! Udah bawa pembalut?"

"Semua alat perang selalu siap sedia, hampir gak pernah keluar dari tas."

"Bagus deh! Udah ayok masuk mobil!"

Sorin memutari bagian depan mobil untuk bisa duduk dibalik kemudi, menyusul Nathan yang sudah setia di bangku andalannya, belakang supir. Sama dengan Mora, Nathan juga sadar diri untuk tidak berharap dengan pelukan hangat dan kata-kata yang lazim didengar seorang anak dari orangtuanya. Sedangkan Sorin sendiri, ia lebih memilih menjauh dan menyejajarkan diri dengan adik-adiknya.

Baru saja Mora hendak membuka pintu samping kemudi, sebuah tangan menahan pintu itu. Perlahan ia menoleh sebab sudah mengenali siapa pemilik tangan itu dari gelang yang dikenakannya. Sungguh ia berharap para OSIS akan mengadakan razia aksesori sehingga gelang itu tak lagi berada di pergelangan tangan Elysa yang tampak nyentrik.

"Apa?"

"Lo udah sering duduk di depan, kali ini biar gue yang temenin kak Sorin"

"Gak! Lo duduk dibelakang aja kayak biasa!"

"Ck, ngalah aja ngapa sama yang lebih tua!?"

"Udahlah, sesekali biarin Elysa aja yang duduk disitu! Perkara bangku doang ribut banget!"

Bukan Sorin atau Nathan yang menjawab, melainkan Mitena. Wanita itu sedari tadi masih memperhatikan mereka dari teras.

Mora merotasikan bola mata dan mendengus. Tak ada gunanya ia terus memberi pembelaan sebab tak satupun akan mendengarnya. Jadi lebih baik ia mengalah untuk kali ini.

Elysa memasuki mobil dengan senyum cerah. Kiranya ini akan menjadi sesuatu yang menguntungkan. Segera ia menurunkan kaca mobil dan memberi lambaian pada Mitena dan Noah. Jangan harap tiga makhluk lain akan melakukan hal yang sama juga.

"Kusut banget tuh muka! Makanya kalo nyetrika tuh jangan seragam doang!" usik Nathan.

"Apa sih? Sibuk betul!" Mora menjawan ketus.

"Yaelah sensi! Bang, tanggal berapa sekarang?"

"Satu Februari," Sorin yang merasa ditanya segera menjawab.

"Oh, pantes! Udah awal bulan!"

"Terus kenapa kalo udah awal bulan?"

"Dompet lu udah tipis 'kan?"

"Bukan dompet doang, kesabaran juga! Mending gausah diganggu deh kalo lagi mode singa gitu! Tar dicakar gue gak mau tau, ya!" Sorin memulai karir kesekiannya sebagai pawang.

"Daripada badmood, mending sini nyender di pundak gue!"

Tanpa dikomando, Nathan langsung menarik kepala adiknya agar bersandar di pundaknya. Mora juga agaknya tak punya tenaga untuk melawan. Atau malah menikmatinya? Entahlah, lagipula siapa yang tidak akan merasa nyaman bersandar pada bahu kokoh Nathan? Jadi jangan heran mengapa Mora justru malah melakukan lebih, memeluk lengan sang kakak.

Merasa diabaikan, Elysa berusaha mengajak ngobrol Sorin yang terus terfokus pada jalanan didepannya.

"Kak, menurut kakak, Lisa lebih cocok pake warna pucat atau agak gelap? Kata Dhava, Lisa gak cocok pake warna pekat kayak hitam atau coklat. Menurut kakak gimana?"

Sorin hanya berdehem

"Kak, Lisa minta pendapat kakak!"

"Jangan berisik! Gue lagi nyetir!"

Nada dingin yang dilontarkan Sorin mampu membuat Elysa bungkam untuk empat menit selanjutnya. Suatu hiburan tersendiri bagi Nathan yang biasa mendapatkannya.

Ketika sampai di depan gerbang sekolah, Elysa turun terlebih dulu dengan wajah kusut. Disusul oleh Nathan kemudian yang berdiri disebelah gadis itu dengan tangan dimasukkan ke saku celana. Ia tersenyum meremehkan melirik kearah Elysa.

"Gimana perjalanannya?"

Bukan menjawab, gadis itu justru malah melipat tangan di dada dan memalingkan wajah. Tapi netranya tak bisa menahan diri untuk tidak melihat kearah mobil lagi. Kaca yang tadi ia turunkan belum sempat ditutup kembali, jadi ia bisa menyaksikan dengan jelas bagaimana Sorin mencium dahi Mora sebelum keluar dari mobil. Jelas itu membuatnya semakin kesal.

Tak cukup sampai disitu, Mora dan Nathan sengaja membuat darah Elysa semakin mendidih dengan bergandengan tangan masuk ke dalam area sekolah. Sedikit hiburan pagi bagi keduanya sebab Elysa langsung berjalan cepat mendahului mereka.

***

Jika yang mengantar para siswa pagi tadi adalah Sorin, maka yang menjemputnya juga harus Sorin. Tidak selalu seperti itu polanya, hanya saja kebetulan diantara para kakak, Sorin saja yang sedang senggang. Tak menentu siapa yang akan menunggu para ABG itu pulang. Bahkan tak menutup kemungkinan bahwa supirlah yang datang.

Ibarat Noah adalah raja dan Mitena permaisurinya. Sepasang suami istri itu tidak akan keluar istana tanpa tujuan jelas. Apalagi untuk membuang energi seperti menjemput anak-anak mereka. Kecuali sekali waktu jika Mitena sedang berada disekitar wilayah sekolah. Itupun hanya Elysa yang akan dibawanya.

Sepulang sekolah, biasanya tak ada siapapun di rumah. Para mahasiswa lebih memilih untuk menghabiskan waktu diluar atau bersama pasangannya seusai kelas. Sementara Noah dan Mitena biasanya baru akan pulang ketika langit hampir gelap. Bisa saja Sorin menemani mereka sebentar sekalian beristirahat. Tapi tidak dengan hari ini sebab ada pertemuan penting menunggunya.

Setelah menurunkan Elysa dengan wajah kusutnya terlebih dulu, Nathan dan Mora menyusul kemudian. Selepas berpamitan dengan sang kakak tentu saja.

Alasan wajah kusut Elysa kali ini cukup simpel. Ia sudah menghabiskan tenaga untuk berlari dari kelasnya di lantai dua begitu bel berbunyi. Namun tetap saja ia kalah cepat dengan Mora yang kelasnya berada di lantai dasar. Lagipula, guru mata pelajaran terakhir Mora sedang berbaik hati dengan memberi mereka jam pulang sepuluh menit lebih awal.

Ketika Elysa membuka pintu samping kemudi, yang menyambutnya adalah tatapan meremehkan Mora.

"Siapa cepat, dia dapat"

Dengan sekali erangan frustasi, dengan terpaksa Elysa menempati bangku tepat dibelakang Mora. Nathan, meski duduk disebelahnya seperti biasa langsung memasang airpods dan tidak mau mendengar apapun ocehan Elysa.

Yang semakin membuat gadis itu geram adalah Sorin yang justru semakin asyik menyimak cerita Mora. Ia bahkan sampai tertawa bersama sang adik, menghiraukan ucapannya sendiri pagi tadi, "jangan berisik! Gue lagi nyetir!"

"Kak Sorin tadi nyuruh Lisa jangan berisik karena kakak lagi nyetir, tapi kok gak suruh Mora juga?"

Lima kata yang diucapkan penuh penekanan terus melekat dalam ingatan Elysa selanjutnya

"Lo. Sama. Mora. Itu. Beda"

Namun Mora dan Nathan yang dibesarkan dengan akal jahil tingkat dewa tentu tidak puas dengan hari terburuk Elysa sejauh ini. Yang lebih tua segera membungkuk agar Mora melompat ke punggungnya. Mereka memasuki rumah dalam posisi seperti itu. Bahkan juga melewati Elysa yang masih berada di lorong lantai satu.

House Of EightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang