Noah berjalan menaiki tangga dengan sepiring makanan dan gelas berisi air minum di tangan satunya. Ketika makan malam tadi, terdapat tiga bangku kosong dimana berarti tiga anaknya tidak ikut makan malam bersama. Jadi kini, dirinya melangkah menuju kamar sang anak untuk mengantar makanan sekaligus menengok kondisi anak tersebut. Pertanyaan "siapa anak yang dimaksud" sepertinya cukup retoris dan dapat terjawab hanya dengan melihat siapa yang mengantar itu semua.
Berbelok ke kiri, Noah berhenti di depan pintu ruangan yang berada tepat di samping tangga. Pintunya tidak ditutup rapat, jadi Noah bisa langsung mendorongnya sedikit menggunakan bahu. Di dalam, seorang gadis tengah duduk diatas ranjang dengan tablet dipangkuannya.
"Lisa?"
Gadis itu reflek menoleh dan tatapannya beradu dengan manik sang ayah di udara. Orang yang sebelumnya memasuki kamar itu sengaja tidak menutup rapat pintunya atas permintaan si tuan kamar sendiri. Ia tak mau tidur sendirian dalam kondisi seperti ini dan Mitena berjanji akan menemaninya lepas makan malam. Jadi ia meminta agar pintunya tidak ditutup rapat sebagai jaminan agar Mitena benar-benar datang memenuhi janjinya. Padahal tanpa jaminan pun, pasangan itu tetap akan memenuhi keinginan Elysa tanpa banyak pertimbangan.
"Ayo makan dulu, nak!"
Noah menyodorkan piring yang sedari tadi ia genggam sementara gelas berisi air ia letakkan diatas nakas. Dengan wajah sumringah, Elysa mengambil piring berisi nasi dan berbagai lauk dalam satu porsi tersebut dan langsung menyuap. Makanan terakhir yang masuk ke perutnya adalah mi instan sepulang sekolah tadi, sudah cukup lama. Tak heran cacing di perutnya langsung berpesta begitu menghirup aroma makanan yang dibawa Noah.
"Papa dengar anak papa ini terluka, kok bisa?"
"Lwisa jwtoh dw pwsat jwjwnan, pwa!"
Dengan senyum gemas, Noah mengelus pucuk kepala sang anak yang barusan berbicara dengan mulut penuh makanan.
"Telen dulu makanannya!"
Mengangguk antusias, Elysa mengunyah makanan di mulutnya sedikit lebih cepat
"Lisa jatoh di pusat jajanan, pa!"
"Kamu ke pusat jajanan sendiri?"
"Enggak, bareng kak Nathan dan Mora"
Bajingan sialan itu!
Tekanan darah Noah berhasil naik hanya dengan mendengar dua nama itu. Tapi ia berusaha mengontrol emosinya supaya sang anak tidak merasa takut dengan aura kemarahannya. Biar saja para oknum itu mendapat balasannya nanti!
"Masih sakit?"
Noah mengelus tulang kering sebelah kanan Elysa. Diatasnya terdapat sebuah perban menutupi hampir seluruh bagian lutut bawahnya. Bagian yang dipakai Elysa untuk menahan tubuhnya ketika terjatuh tadi sore.
"Udah gak terlalu sakit, tadi mama datang bersihin soalnya. Cuman masih ngilu aja dikit!"
Alasan sepele yang membuat Elysa menahan rasa lapar hingga kegiatan makan malam utama di meja makan selesai.
"Lain kali hati-hati kalau jalan, apalagi di tempat rame kayak pasar jajanan! Emangnya gak ada yang pegangin kamu?"
"Enggak, waktu kejadian kak Nathan sama Mora duduk di kursi pinggir pasar"
Bagus, darah Noah sudah seperti air mendidih sekarang!
***
"Ada apa, pa-"
BUGH
"Dasar anak pembawa sial!"
Sebentar, biar kujelaskan! Ketika Aghamora sedang berkutat dengan buku pelajaran dan pulpen, seseorang tiba-tiba membuka pintu kamar dengan gusar. Reflek, Aghamora berbalik badan dan tanpa sengaja membuat kontak mata dengan Noah. Mau tidak mau, Aghamora membuka pertanyaan duluan. Namun belum selesai kalimatnya diutarakan, Noah yang memang sedari awal sudah gusar langsung meninjunya tepat di rahang. Ia tak peduli lagi kandidatnya berjenis kelamin apa. Dan kalimat penuh penekanan Noah selanjutnya jelas mengundang atensi sepanjang lorong.
Keributan itu membuat sesosok fisik dari sisi lain lorong bergerak menghampiri. Bukan karena ia membenci keributan, tapi karena ia paham atas dasar apa keributan itu terjadi. Sampai di ambang pintu, yang didapatinya adalah Aghamora sudah terduduk di lantai dan Noah dihadapannya dengan gerak-gerik tidak bersahabat. Ia mendekat hendak menengahi, tapi terlambat sebab Noah lebih dulu melayangkan pukulan pada pipinya. Pemuda itu langsung maju menghalangi Aghamora yang sudah sedia dengan tangan melingkar melindungi kepala.
"Cuma gara-gara Elysa terluka papa pukul Mora?"
"Luka gak bisa disepelekan, Tristan! Itu bisa jadi lebih parah"
"Tapi sekarang kenyataannya Elysa baik-baik aja, dan darimana papa yakin kalau ini semua salah Mora sampai main fisik kayak gini?"
"Jelas dia yang salah! Ngapain ngajak kalau ujung-ujungnya dibiarin gitu aja?"
"Elysa itu ditawarin atau menawarkan diri? Ada perbedaan besar dibalik dua kata itu, pa! Lagian juga Elysa udah besar, gak perlu lagi selalu dituntun kayak anak kecil!"
Seorang pemuda tiba-tiba saja masuk dan menghampiri Aghamora. Ia membantu gadis itu berdiri sementara Tristan masih berdebat dengan sang ayah.
"Kalian itu gak jauh beda dari dia! Minggir atau saya bakal bikin kalian bernasib sama kayak anak sialan ini!"
"Papa yang bikin kita jadi sialan!"
Bukan Tristan melainkan pemuda dibelakangnya yang menjawab, Zayan
"Lancang kamu, ya!"
"Papa gak bisa jadiin kita oknum cuma karena kita anak sialan di mata papa!"
Noah menatap tajam Zayan, tapi pemuda itu justru tampak tidak takut sama sekali
"Saya sudah kasih pilihan dan kalian malah milih yang terburuk. Oke, nikmati konsekuensi kalian!"
Noah mengangkat kepalan tangan hendak meninju Zayan, namun ia tidak berhasil mencapai permukaan kulit pemuda itu sebab seseorang menahan tangannya. Siapa lagi kalau bukan Tristan? Pemuda itu bahkan berani menghempaskan tangan Noah bahkan menatap dingin pria itu.
"Aghamora gak salah, sama sekali! Elysa yang maksa pengen ikut mereka. Jadi bukan salah Mora dan Nathan yang mengabaikan Elysa, tapi Elysa yang ngotot pengen ngekor mereka."
Itu Tristan yang menjelaskan, tapi kemudian Zayan juga ikut bersuara memecah keheningan di ruangan itu
"Lagian yang ada disana bukan cuma Mora, tapi Nathan juga. Tapi kenapa papa cuma nyerang Mora? Karena Mora cewek jadi gak ada kekuatan buat melawan?"
Zayan tersenyum miring
"Papa gausah takut Nathan bakal ngelawan kalo papa nyerang dia, papa mestinya takut kalo kesabaran Mora udah habis. Balas dendamnya orang penerima bakal lebih serem daripada aksi seorang pembangkang."
Noah berdecak
"Saya bakal terus perhatikan kalian berdua!"
Setelah mengatakan itu, Noah keluar dari kamar dengan tatapan tajam lurus pada netra mereka bertiga
Tristan duduk disamping Aghamora begitu memastikan Noah sudah benar-benar pergi. Zayan yang sedari tadi duduk disebelah Aghamora sudah lebih dulu mendekap gadis itu, merasakan hembusan nafasnya mengenai kulit leher. Tristan mengelus bahu Aghamora yang tidak bergetar—gadis itu tidak menangis, hanya menenangkan diri—kemudian turun ke bawah hingga menyentuh bagian kulit Aghamora yang tidak tertutup kain. Permukaan lembut itu harus menerima hiasan memar yang kini masih terlihat samar.
"Sakit gak, Ra?"
Bukannya menjawab, Aghamora malah semakin mengeratkan pelukan pada Zayan
"Sorry, gue kurang cepet"
Zayan menatap kakak kembarnya tak suka
"Mora mulu, lu sendiri gimana? Tadi kena pukul papa juga 'kan?"
"Gue gak seberapa, anggap aja ini akibat kurang becus jadi abang"
"Hush! Gaada yang berhak nerima perlakuan fisik karena gaada yang salah!"
"Jadi kalo emang salah berarti berhak?"
"Gak gitu juga!"
Tristan terkekeh kecil mendapati tatapan lelah Zayan
"Ra, yuk obatin dulu lukanya!"
Zayan berusaha melepaskan dekapan Aghamora. Tapi alih-alih terlepas, gadis itu malah semakin menguatkan pelukan. Ia bahkan menggosokkan hidung di tempat wajahnya berlabuh membuat pekikan geli dari Zayan memenuhi seluruh ruangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
House Of Eight
Teen FictionLo udah punya apa yang enggak mungkin gue punya, masih juga mau rebut apa yang gue punya? [Aghamora × abangs || Elysa × parents] Menyephobic dan uwuphobic dilarang datang ⛔ Harsh word bertebaran❕❗ 1 chapter = 800-1800 word