Black Day

24 2 0
                                    

Isak tangis memenuhi komplotan orang berpakaian hitam. Kumpulan itu mengelilingi dua buah liang yang siap bertemu penghuninya. Dua peti sedia disebelah peristirahatannya masing-masing, menunggu pria berjubah selesai dengan kalimatnya.

"Sekarang peti akan dimasukkan ke liangnya masing-masing"

Dua orang disebelah timur yang sedari tadi bersimpuh semakin tak kuasa menahan air mata. Yang lebih muda meloloskan raungan hingga pemuda disebelahnya harus menarik sang adik ke dalam dekapan agar tidak terlalu mengusik aktivitas. Mereka adalah Nathan dan Hunter.

Di sisi lain, dua bocah kembar sedang berusaha menahan emosinya masing-masing. Mungkin tidak sebab lengan yang lebih tua bertengger di bahu adik kembarnya. Zayan menangis, cairan asin tak berhenti meluncur dari kelopak matanya. Sesekali pemuda itu mengangkat tangan untuk menghalau luruhan bening. Sementara Tristan hanya membiarkan gejolak emosi menuntun air matanya mengalir bulir demi bulir, namun entah belajar dimana pemuda itu hingga dapat mempertahankan straight facenya.

Diantara semua kekacauan tersebut—kekacauan emosi dari mereka yang berusaha tetap tenang diluar atau mereka yang mengeluarkan semuanya di hadapan banyak orang, tanpa takut memperlihatkan sisi lemahnya—hanya satu insan yang tampak tenang. Gadis disebelah Sorin. Tak ada air mata, tak ada isakan, seolah emosinya tertinggal di suatu tempat.

Sorin mendekatkan wajah pada telinga gadis tersebut

"Nangis aja dulu kalau emang pengen nangis, gausah ditahan!"

Gadis itu menunduk, tapi masih tak setetes pun air mata tampak di wajahnya. Entahlah, rasanya tidak berselera untuk menangis. Semuanya masih terlalu mengejutkan. Tapi bagaimanapun, yang seharusnya terjadi sudah terjadi. Waktu yang mewujudkannya. Dan Aghamora berdiri disana, di depan peti kedua orangtuanya yang sudah berada jauh dibawah tempatnya berpijak. Gadis itu sudah terlalu sedih hingga tak tahu bagaimana cara melampiaskan kesedihan tersebut.

Raungan pilu datang dari lain sisi. Asalnya seorang gadis yang secara perlahan meluruh menyentuh tanah. Sedari tadi ia berusaha menahan emosi, ingin mengantar kedua orangtuanya dengan senyuman. Namun pada akhirnya, kesedihan tetap menjadi dominan.

Biru yang berada paling dekat dengan Elysa. Pemuda itu ikut bersimpuh disebelah sang adik, mendekapnya meski raungan itu mampu menyakiti diri sendiri. Elysa mengenggam tanah disampingnya sebagai pegangan. Kemudian tanah itu ia lempar asal memasuki liang lahat orangtuanya setelah beberapa saat.

Secara bergiliran, saudara-saudaranya mengikuti. Mereka bersimpuh dan melempar satu genggam tanah pada liang lahat orangtuanya. Aghamora yang paling terakhir bergabung. Gadis itu menghela nafas berat sebelum akhirnya turut melemparkan tanah keatas peti sang ibu. Kemudian mengambil segenggam lagi untuk dilempar ke liang sang ayah.

Sorin tersenyum lembut. Bukan sekedar karena raungan disekitar sana berangsur memudar berganti dengan ikhlas, tapi karena ia mendapati setetes air mata mengalir di pipi Aghamora. Pada akhirnya gadis itu menemukan cara pengalihan dari ketidakpercayaan dan kesedihan yang terlalu besar sampai-sampai hatinya tak mampu membendung.

Beberapa orang mulai menurunkan tanah keatas dua peti tersebut. Memastikan volumenya kompleks dan tak lupa memasang nisan diatasnya. Kini Noah dan Mitena sudah damai sesuai dengan janji mereka dua puluh lima tahun lalu di depan altar, selalu bersama selamanya.

***

Satu per satu pelayat pergi. Tentunya setelah menyampaikan belasungkawa pada delapan insan yang ditinggalkan dalam usia muda. Beberapa diantaranya merupakan teman kantor atau teman sekolah. Jadi jangan heran mengapa setidaknya lima orang menyalurkan kekuatan melalui kontak fisik pada anak-anak itu.

Tak semua dari mereka mampu merespon. Nathan dan Elysa misalnya. Dua remaja itu masih belum beranjak dari sikap bersimpuhnya disamping gundukan yang kini sudah ditanami nisan.

Aghamora? Gadis itu benar-benar kehilangan emosinya. Ia tidak menjawab ungkapan turut berduka dari beberapa temannya yang datang meski dekapan-dekapan itu masih bisa ia balas. Lebih menyeramkannya, gadis itu tidak menangis sama sekali. Wajahnya datar, sedatar foto berbingkai Noah dan Mitena di depan nisan.

Tersisa mereka bersebelas. Iya, sebelas! Delapan bersaudara serta sepasang suami istri dan seorang wanita paruh baya diatas kursi roda.

Tiga manusia itu tersenyum teduh mendekati keluarga duka terdekat. Jika hanya keluarga duka, maka mereka juga termasuk kedalamnya. Ketiganya baru selesai mengucapkan terimakasih pada pelayat terakhir yang bertahan, Jasiel. Remaja itu baru beranjak tiga puluh menit setelah gundukan dibuat. Niatnya ia ingin menjalankan misi yang diberikan oleh para kakak sahabatnya melalui telepati, membuat Aghamora mengeluarkan setidaknya satu emosi. Tapi setelah cukup lama berusaha dan tidak menunjukkan hasil, pemuda itu menjawab telepati pemuda lain yang lebih tua darinya.

Kayaknya, Mora lagi butuh space, bang! Gue gak bisa paksa dia nangis atau seenggaknya senyum tipis. Mungkin karena dari tadi disekelilingnya banyak orang, makanya dia pendam emosinya sendiri.

Jasiel pergi setelah menyalurkan semangat pada kakak-kakak sang sahabat. Sebelas insan disana hanya memandangi figur Mitena dan Noah yang tersenyum cerah. Sayang figur itu hanya gambar, eksistensi mereka kini tersisa dalam memori semata.

"Kalian anak-anak kuat, hadiah dari tuhan buat orang hebat kayak mereka"

Sorin mengelus surai sang adik bungsu disampingnya. Yang menjadi sasaran mendongak, menatap sang kakak tanpa binar.

"Kamu hebat, dek! Mama papa belum sempet sayang sama kamu, tapi kamu gak marah atau benci."

House Of EightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang