Sofa ruang keluarga dipenuhi oleh sebelas raga. Kali ini bukan bersama Noah, Mitena, serta satu orang yang entah siapa—sebab untuk apa mereka membawa tamu beserta anak-anak untuk duduk di ruang keluarga bersama. Lagipula, sesuai dengan namanya, ruang keluarga hanya bisa dipijaki oleh anggota keluarga. Bukan berarti terdapat privasi besar tentang keluarga itu disana, tapi sudah terlalu banyak ruang yang bisa dikunjungi para tamu. Selain itu, ruang keluarga tidak berada di depan seperti ruang tamu atau ruang tengah yang masih mungkin menjadi tempat singgah—bahkan tak jarang hanya berdiam di teras saja—tetapi diujung lorong bertetangga dengan ruang komputer.
Tiga orang yang duduk bersama delapan bersaudara di ruang keluarga adalah tiga orang terakhir yang menemani mereka di pemakaman tadi. Sekilas info untuk kalian, tak satupun dari mereka sudah berganti pakaian. Jadi meski ruangan itu bernuansa elegan dengan warna emas mendominasi, tapi tetap ketara kesedihan para makhluk didalamnya.
Seorang wanita dewasa, seorang pria, dan seorang wanita paruh baya diatas kursi roda. Mereka tentu bukan orang asing beruntung yang bisa menapaki ruang keluarga kediaman itu. Mereka adalah bagian dari keluarga, lebih jelasnya dari pihak Mitena. Maira—si wanita dewasa—adalah adik kandung Mitena dan si pria adalah suaminya, Hael. Dan wanita diatas kursi roda tersebut adalah ibunda Mitena, nenek para kakak-beradik. Usianya belum tujuh puluh, dan kursi roda bukan akibat berkurangnya fungsi tubuh dimakan usia. Tapi kecelakaan dua dekade lalu yang membuat kakinya mati rasa selamanya. Kecelakaan yang sama dengan yang merenggut sang kakek. Dari dampak yang ditimbulkan, tentu bisa langsung dibayangkan seberapa dahsyatnya kecelakaan itu. Jadi mari berhenti membahas dan kembali ke suasana di ruang keluarga.
"Nenek, bibi dan paman menyampaikan belasungkawa sebesar-besarnya. Disini posisi kami juga sebagai keluarga duka, tapi tentu duka kalian lebih besar. Inginnya kami menemani kalian lebih lama agar kita bisa bersama-sama keluar dari luka, tapi kelihatannya kita gak bisa lebih lama meninggalkan kehidupan kita di kota lain."
Wanita tertua disana membuka percakapan
"Gapapa, nek! Kita ngerti 'kok! Kepergian mama dan papa memang terlalu mendadak, jadi kita juga gak bisa cegah kalian buat batalin jadwal yang sudah lebih dulu dibuat." – Sorin
"Hunter disini ngewakilin yang lain cuma bisa bilang makasih karena nenek, paman dan bibi udah bersedia datang bahkan ikut ngurus pemakaman. Makasih udah mau luangin waktu kemarin dan hari ini sampai papa mama damai di peristirahatannya." – Hunter
"Makasih udah temenin kita ngelewatin hari yang bener-bener berat. Untuk kedepannya, biar Biru dan bang Sorin yang urus rumah dan pemakaman, juga jagain adik-adik sampai bisa dapetin balik kekuatannya." – Biru
"Bibi percaya kalian kuat dan bisa secepatnya bangkit. Tapi selain itu, ada hal lain yang mau kita sampaikan." – Maira
Wanita itu menengok pada Hael disebelahnya, membuat kedelapan muda-mudi mengikuti arah pandang secara spontan.
"Paman dan bibi sudah sepakat untuk kasih kalian kesempatan memilih. Kalian tahu usia pernikahan kita sudah lebih dari satu dekade, tahun kelima belas sekarang. Tapi tuhan belum kasih kita kesempatan merawat dan membesarkan anak. Rumah kita dalam suasana berbanding terbalik sekarang.
Mungkin ini terlalu mendadak buat kalian yang masih dilingkupi duka, tapi kesibukkan bikin kita gak jamin bisa berkunjung kesini lagi dalam waktu dekat. Justru dengan alasan itu kita membuat penawaran ini.
Kita paham, pasti berat buat kalian meninggalkan tempat penuh kenangan ini. Itulah kenapa tawaran ini punya dua pilihan. Jadi, apa yang bakal kalian pilih?"
Delapan manusia itu saling melempar tatapan. Hanya sesaat, sampai menyadari kalau lima diantara mereka sudah melewati batas legal. Meski akan berat melanjutkan kehidupan tanpa orangtua, tapi kehadiran wali sudah tidak terlalu berpengaruh untuk mereka.
Tatapan itu kemudian beralih pada tiga remaja disana. Yang tertua membalas tatapan itu dengan alis agak mengkerut. Tanpa sepatah katapun, mereka bisa mengerti arti tatapan tersebut. Pusat perhatian berganti pada dua gadis disana. Salah satunya sempat beradu netra dengan semua pemuda dihadapannya sebelum mengangkat sebelah alis sembari tersenyum samar. Sementara satu gadis lainnya menghela nafas pelan sambil menutup mata. Tinggal bersama sejak pertama kali menghirup oksigen membuat mereka mampu memahami satu sama lain tanpa perlu sepatah katapun terucap.
Maira tersenyum penuh harap ketika delapan anak muda dihadapannya kembali dalam mode serius setelah berdiskusi lewat telepati.
"Sorin sanggup jadi kakak yang baik buat mereka yang memilih tinggal. Gak perlu khawatir, kalian bisa percayakan pada Sorin!"
Pusat perhatian beralih pada Biru yang duduk disebelah Sorin
"Biru, Hunter, Tristan dan Zayan sudah melewati batas legal. Kita sudah hidup selama lebih dari tujuh belas tahun. Walaupun kedepannya kehidupan kita tanpa papa mama, tapi kita bisa jaga diri. Lagian, bang Sorin pasti perlu bantuan buat urus perusahaan."
Kalimat Biru cukup menjelaskan keputusan sebagian besar dari mereka. Itulah kenapa arah pandang kini beralih pada Nathan.
"Nathan bakal tetep disini, lanjut pendidikan sambil temenin abang"
Binar penuh harap itu beralih menemui Aghamora di tempat duduknya. Gadis itu membasahi bibirnya sebelum berbicara.
"Mora percaya abang-abang bisa jaga Mora dengan baik"
Terakhir tersisa Elysa yang setia dengan kepala tertunduknya. Gadis itu menghela nafas sebelum meluruskan otot leher.
"Lisa bakal ikut!"
KAMU SEDANG MEMBACA
House Of Eight
Teen FictionLo udah punya apa yang enggak mungkin gue punya, masih juga mau rebut apa yang gue punya? [Aghamora × abangs || Elysa × parents] Menyephobic dan uwuphobic dilarang datang ⛔ Harsh word bertebaran❕❗ 1 chapter = 800-1800 word