Backyard

12 4 0
                                    

"Permisi, Went-food!"

Tak cukup dengan hanya berteriak mengingat luas halaman yang sudah seperti taman kota dan dapat menampung setidaknya empat minibus, pria dengan jaket dan helm berwarna serasi yang pastinya sudah sangat sering dijumpai itu mengeluarkan ponselnya dan mengetikkan sesuatu untuk sang customer.

Jika kalian sadar, meski terkesan mewah tetapi hunian itu tak memiliki security. Bukan tanpa alasan, kedua pasangan pemegang tahta tertinggi disana beranggapan jika delapan bocah kematian sudah cukup membuat perampok atau orang-orang yang berniat jahat berfikir dua puluh kali sebelum melancarkan aksinya. Jadi tak lagi perlu anjing penjaga atau security pribadi yang selalu siaga di balik gerbang dengan tinggi dua meter tersebut. Meski mereka tak menyangkal akan kehadiran security yang hanya akan datang pada senja hingga fajar menjelang. Sisanya, tugas diserahkan pada hansip komplek.

Tak menunggu lama, seorang pemuda keluar melalui daun pintu ganda yang tingginya hanya selisih lima centimeter dengan pagar di depan. Pemuda itu segera menghampiri special guest yang rela menantinya dibawah terik matahari.

Sampai dihadapannya, si kurir menyerahkan sebuah kantung plastik pada si customer. Kemudian percakapan template dan singkat seperti memastikan bahwa pembayaran sudah dilakukan melalui aplikasi, memeriksa isi kantung tidak ada yang keliru, dan mengingatkan untuk memberi lima bintang pada aplikasi pun terjadi.

Setelah mengucapkan terimakasih, si pemuda kembali menutup pagar rumahnya. Tanpa ia sadari, seseorang telah mengawasinya dari sudut salah satu jendela di lantai dua. Si pengintai itu juga bahkan mengikuti arah langkahnya menuju halaman belakang dan menghilang di balik ruangan.

Pemuda jangkung itu menempati salah satu kursi di dekat kolam renang. Bukan kursi santai untuk berehat, tapi set kursi dibawah atap pendopo. Pemuda itu mulai membongkar isi kantung plastiknya dan memenuhi meja kaca yang sedari tadi menganggur. Seporsi seblak, segelas es teh, dan double cheese burger. Menu makan siang sempurna andai seorang gadis tidak langsung menempati kursi kosong dihadapannya dengan senyum lebar.

"Makan siang, nih! Lo gak lupa 'kan kalo di rumah lagi gak sendiri?"

"Lo 'kan udah makan siang tadi!"

"Mana ada makan siang?! Tau sendiri anak manja gak pernah ngerti cara berbagi!"

Sorin terdiam, ia lupa jika dua adik yang sedang bersamanya di rumah hari itu adalah Aghamora dan Elysa. Keduanya masih dalam masa pemulihan dari demam yang sudah merenggut dua hari mereka di sekolah. Ketika diketahui suhu tubuh mereka sudah kembali normal, kalender menunjukkan hari itu adalah hari Sabtu.

Meski kembar, tapi jangan pernah membayangkan Aghamora dan Elysa duduk berdua di meja yang sama. Bahkan ketika makan malam saja, dua gadis itu pasti duduk berjauhan. Jadi ketika makan siang ini hanya untuk mereka berdua, jangan harap mereka akan berada di meja makan pada waktu yang sama.

Begitu seorang maid selesai memasak sebelum akhirnya kembali pulang—maid yang bekerja disana baru akan datang ketika pagi untuk menyelesaikan pekerjaan rumah, kemudian pulang pada tengah hari setelah semuanya selesai—Elysa langsung turun dari kamarnya dan menghabiskan semua, dua porsi makanan hanya dalam sekali duduk. Aghamora yang terpaksa mengalah dan memberikan waktu untuk sang kakak terlebih dulu tentu tak mendapat apapun yang tersisa. Niatnya untuk membuat mi instan urung begitu mengingat skandal terakhir dengan makanan tersebut. Alhasil ia kembali ke kamarnya tanpa mengisi perut.

"Lo mau coklat gak? Gue punya dua di laci nakas, lo ambil aja semua!"

"Serius, bang? Ya gue mau lah! Rezeki mana boleh ditolak yekan?"

Dengan agak melompat kegirangan, Aghamora kembali masuk ke dalam rumah untuk mengambil coklat yang kakaknya maksud. Meski harus kembali meniti anak tangga, tapi kenyataannya gadis itu dapat kembali ke hadapan Sorin dalam waktu lima menit tanpa terengah-engah. Justru ia langsung membuka salah satu bungkus coklat tersebut dan menyantapnya dengan senyum mengembang dihadapan Sorin.

Tadinya, pemuda itu membeli coklat untuk diberikan pada teman wanitanya yang akan berulang tahun dalam waktu dekat. Tapi mengingat bagaimana Aghamora harus menahan lapar hingga waktu makan malam nanti dengan imun tubuh yang belum sepenuhnya pulih, jiwa seorang kakaknya tidak bisa diam begitu saja. Lagipula, itu hanya dua batang coklat biasa yang bisa ditemui di minimarket. Ia bisa membelinya kembali lain hari.

"Bentar lagi Zayan balik, siapa tau dia bawa makanan"

"Bang Zayan pergi kemana emang?"

"Paling juga ke festival bareng pacarnya"

"Dih ke festival! Tau gitu gue chat aja minta bawain moci daritadi"

"Tunggu aja! Parah emang kalo gak bawa oleh-oleh!"

"Tapi gue pengen moci!"

Aghamora memberenggut dan memajukan bibirnya beberapa centi

"Udah gausah dimonyong-monyongin gitu tuh bibir! Geli gue liatnya!"

"Baru monyong ngunyah coklat aja lu udah geli, gimana kalo gue bilang 'bang Sorin uwu~'"

Totalitas, Aghamora sampai mengikuti ekspresi konten yang dilihatnya dari sosial media. Gadis itu menaikkan alis dan memajukan hanya bibir bawahnya. Bahkan ia juga membuka-tutup telapak tangan dengan cepat agar terlihat semakin meyakinkan. Tapi bukan apresiasi yang didapat justru jitakan sayang dari Sorin.

"Lo gitu lagi gak tanggung-tanggung gue siram es teh!"

"Bukannya tiap hari juga lo liat begituan?"

"Apa? Elo? Iya, tiap hari lo ganggu ketenangan gue!"

"Bukan gue! Yang satu itu lo bisa tahan?"

"Harusnya lo yang gue tanya!"

Baru hendak membalas, deru mesin mobil disusul suara klakson dari depan pagar menginterupsi bantahan yang hampir diajukan Aghamora. Dengan cepat, Sorin menelan paksa es teh yang memenuhi rahangnya hingga pemuda itu terbatuk. Segera ia berdiri hendak membukakan pagar.

"Bentar, gue tanya Zayan dulu tuh!"

Dalam sepersekian detik, Sorin sudah menghilang dari pandangan Aghamora.

Ketika gadis itu sedang menikmati coklat yang sedari tadi masih belum juga habis, seseorang datang tiba-tiba dan merebut coklat lain yang tergeletak diatas meja. Reflek, Aghamora mengikuti arah tangan asing tersebut dan tatapannya seketika beradu dengan sepasang netra menyebalkan.

"Kak Sorin punya dua karena satunya mau dikasih buat gue. Maruk lo!"

"Bang Sorin pernah bilang dia bakal kasih lo?"

"Tanpa bilang juga dia pasti bakal kasih ini ke gue!"

"Kepedean lo nyink!"

"Lo gausah deh coba rebut hak orang!"

Aghamora tersenyum sinis lalu bangkit dari kursinya, balas menatap Elysa dengan tatapan penuh emosi

"Disini siapa yang ngerebut dan siapa yang direbut? Lo gausah memutar balikkan fakta, deh! Perkara coklat doang juga!"

"Mana bisa? Gue pengen ambil balik apa yang seharusnya jadi milik gue!"

"Okedeh, karena gue baik hati dan tidak pendek, jadi gue bakal kasih coklat ini ke orang yang iri!"

"GUE GAK IRI, LO YANG IRI!"

Bertepatan dengan itu, Sorin dan Zayan memasuki pekarangan belakang. Otomatis keduanya melihat dengan jelas bagaimana Elysa berteriak tepat di depan wajah Aghamora. Sontak Zayan berlari untuk memisahkan mereka sebelum sesuatu yang lebih parah terjadi.

"Ribut terooos! Sekarang apalagi?"

"Dia tuh, main ambil coklat gue!"

"Coklat lo darimana? Jelas-jelas bang Sorin ngasih ini ke gue!"

Tak terima, Elysa maju hendak menyerang sang adik namun dihadang oleh Zayan. Tak tahu menahu soal apapun, Zayan melirik kearah Sorin yang kini sudah kembali duduk dan melahap seblak untuk meminta penjelasan.

"Iya, gue kasih itu ke Mora"

"Nah, denger 'kan?"

Dengan isyarat kepala, Zayan menyuruh Elysa agar kembali masuk ke dalam rumah meski membawa satu batang coklat yang memang sedari tadi ia genggam. Aghamora sudah tidak terlalu mempermasalahkan sebab kini meja menjadi lebih penuh dengan berbagai varian moci yang Zayan bawa. Tapi yang terpenting, Aghamora telah memenangkan perdebatan kali ini.

House Of EightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang