Home

15 2 0
                                    

Kuda besi berwarna hitam memasuki pekarangan, menghantar ksatria dan prajuritnya kembali pada tempat perpulangan, setidaknya secara teori. Tidak lagi dielu sebagai tempat beristirahat dan berlindung jika baru menapakkan kaki di bagian dalam saja sudah mengundang satu lagi pertengkaran didasari tanpa adanya ranah keadilan. Bahkan tujuan si prajurit untuk pulang pun bukan karena kabar gembira atau rindu setelah berjuang di medan peperangan, melainkan kewajiban tentang hak asuh dan usia belum mandiri yang disandangnya...secara hukum. Kenyataan mengatakan seorang prajurit harus mandiri dan dapat melindungi diri tanpa memandang usia.

Seperti yang Sorin janjikan pada malam sebelumnya, Aghamora akan dijemput pulang oleh si kakak tertua begitu petang menjelang. Meski memegang tahta tertinggi, tapi tanggungjawab membuat Sorin tetap mematuhi peraturan pekerja. Tentu setelah mempertimbangkan prioritas. Bukan berarti Aghamora bukan yang utama, tapi tamparan kuat mengingat adiknya adalah seorang srikandi, sandang prajurit wanita. Meski mungkin ia tak menggenggam katana, tapi barisannya bukan berada dibelakang dengan perlindungan para pria. Jadi poin pentingnya, Sorin adalah pria bertanggungjawab, tapi jangan menjadi wanita manja jika ingin membersamainya.

Meski sempat terjeda dua jam dalam kesendirian sebelum Sorin datang, tapi bukan hal berat untuk dilalui Aghamora. Dengan selang infus dari kantung kedua di tangan kirinya, gadis itu menatap lekat suasana taman rumah sakit melalui jendela disamping brankarnya. Walau bukan kamar spesial dengan harga lebih tinggi, tapi kamar itu tetap menyediakan akses jendela untuk pasien rawat inapnya.

Cukup lama memandang keluar jendela, gadis itu akhirnya merasa bosan juga. Segera ia ambil ponsel diatas nakas dan menghubungi nomor kontak "penambah dosa." Nada hubung terdengar beberapa kali sebelum akhirnya suara parau seorang pemuda terekam oleh sambungan telepon.

"Halo?"

"Woy, curut!"

"Oh...Mora? Ada apa sih?"

"Hehe...gabut gue cuy"

"Yaudah sini samperin gue. Lu dimana dah?"

"Di rumah sakit"

"Oh..."

1...

2...

3...

"HAH?! RUMAH SAKIT?!"

"Yeu...lu tidur berapa lama sampe anime gitu?"

"Anime??"

"Iya, datar otak lu!"

"Sialan"

Aghamora terkekeh renyah

Jika kalian ingat seorang bintang sekolah namun juga lambe turah bernama Jasiel, pemuda itulah yang tengah dihubungi Aghamora sekarang. Bukan tanpa alasan Aghamora menghubungi pemuda itu, pertama sebab sejujurnya Jasiel-lah satu-satunya sahabat yang Aghamora punya. Kedua, sebab Mora tahu betul kebiasaan pemuda itu jika bosan tanpa kehadirannya di menit-menit sebelum makan siang, tidur. Ketiga, ia segan mengganggu orang lain yang tidak begitu dekat seperti ia dan Jasiel.

"Btw lo ngapain di rs?"

"Diskusi perbaikan jalan bareng presiden"

"Emang pak presiden lagi ada di rs?"

"Enggak, lagi nyari berlian ke Swiss"

"Terus lu ngapain ke rs?"

Aghamora memutar bola mata jengah

"Coba ambil gelas, terus minum dulu, shay!"

"Oke, bentar!"

Selanjutnya terdengar suara hentakkan tidak terlalu keras, Aghamora beranggapan Jasiel meletakkan ponselnya diatas meja. Mungkin gadis itu sudah layak mendapat sertifikat penglihatan tembus ruang.

House Of EightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang