Hospital

49 4 0
                                        

Aghamora sudah tersadar, namun kelopak matanya terasa berat untuk dapat terbuka. Ia berusaha menggerakkan bola matanya dalam gelap, dibalik kelopak mata. Dahinya pun turut mengerut menahan berat pada kelopak matanya. Lenguhan lirih lolos begitu saja dari pita suaranya. Pergerakan dadanya menjadi lebih cepat dari satu detik yang lalu.

Rungunya mendengar suara seorang pemuda memanggil dokter yang tadi sempat berlalu dan belum jauh dari ruangan Aghamora. Saat itulah ia berhasil membuat celah diantara kelompak mata atas dan bawahnya. Ia berhasil menangkap cahaya meski pandangannya masih buram. Dengan kesadaran yang belum kembali seutuhnya, ia bisa merasakan sebuah tangan mengelus lembut surainya. Sentuhan itu membuat netra pada akhirnya terbuka lebar.

Dari arah pintu, datang seorang pria berjas putih. Ia berdiri tepat disamping brankar Aghamora, mengangkat stetoskop ke telinganya dan bagian lain mengarah ke dada Aghamora. Dahi dan leher Aghamora sempat disentuh sekilas oleh pria tersebut, kemudian berbalik menghadap Sorin dan Nathan yang setia berdiri dibelakangnya.

"Kondisi pasien sudah lebih baik. Mimisan hanya akibat dari lelah, dan jadwal makan yang tidak teratur telah berdampak pada proses kerja lambung sehingga pasien sempat pingsan. Nutrisi yang terlambat masuk ke dalam tubuhnya akan digantikan oleh cairan infus, jadi pasien masih harus berada dibawah pengawasan rumah sakit setidaknya sampai besok pagi."

"Baik dok, terimakasih"

Dokter tersebut membalas bungkukan badan Sorin dan Nathan sebagai tanda terimakasih dengan sebuah anggukan sopan sebelum keluar dari ruangan.

Biru yang masih setia menggenggam tangan Aghamora mengelusnya pelan hingga atensi gadis itu beralih ke sisi brankar lainnya, bertatapan dengan netra teduh Biru.

"Butuh sesuatu, dek?"

"A-air"

Wajar saja jika suara Aghamora tercekat, gadis itu sudah pingsan selama lebih dari dua jam. Dengan cekatan, Biru mengambil botol air mineral diatas nakas dan membantu sang adik menenggaknya. Setelah dirasa cukup, pandangan Aghamora beralih pada Sorin dan Nathan yang baru saja mengambil kursi agar bisa duduk di sisi brankar lain. Tanpa dikomando, tangan Nathan terulur memijat kaki Aghamora.

"Abang pijitin, ya! Biar gak mati rasa,"  Nathan tiba-tiba bertransformasi menjadi abang idaman.

"Butuh sesuatu lagi?" tawar Sorin.

"Black card," ujar Aghamora selaku adik tidak tahu diri.

"Yeu ngelunjak! Untung lagi sakit," canda Biru.

"Bukannya 'untung sayang'?" Aghamora memancing.

"Apa, sayang?" kejadian langka, Sorin dan Nathan berkata secara bersamaan.

"Bang, kenapa diladenin, sih?" ujar Biru tak terima.

"Biarin, lagi sakit. Umur ga ada yang tau," iseng yang tertua.

"Abangsat"

"Yang penting ganteng," Nathan ikut nimbrung.

"Pengen bilang iya, takut bohong," Aghamora menanggapi.

"Bilang aja, gak salah 'kok!" Nathan menaik-turunkan alisnya.

"Aja," Aghamora berkata enteng membuat Nathan memasang ekspresi datar.

"Udah lo pingsan lagi aja biar tentram dunia!" pemuda dengan urutan kedua dari atas menyahut.

"Iyakah? Giliran gue pingsan khawatirnya ngelebihin Bimasakti. Kalo sayang tuh confess, gausah gengsi!"

"Wujud asli bocah kepedean kayak gini nih!"

"Lo baru siuman, udah naikkin tekanan darah aja!" Sorin menimpali.

"Loh, jantung abang berdebar-debar? Awas gedubrak cinta!" pancing Aghamora untuk kesekian kali.

"Ihh gemes! Pengen jual ginjalnya deh!" Nathan memasang pose seolah hendak mencubit ginjal adiknya.

Percakapan itu terus berlanjut sampai mereka lupa akan kehadiran dua insan lain di sisi sebrang ruangan. Salah satu dari mereka berbaring diatas brankar seperti Aghamora, bedanya ia tak disinggahi selang infus. Sementara yang lainnya duduk di samping brankar sembari menggenggam tangan yang memang menganggur.

Wanita itu menarik pelan dagu Elysa membuat si empunya menoleh

"Anak mama yang cantik kenapa cemberut? Perlu sesuatu, hm?"

Elysa menghela nafas

"Lisa pengen pulang"

"Iya, ntar malem kita pulang ya, sayang. Tahan sebentar! Mama tau kamu pasti gak nyaman ada di kamar reguler, apalagi harus berbagi. Tapi kita tunggu dulu sampe kondisi kamu benar-benar fit, sekalian nunggu papa jemput."

Mitena sengaja menaikkan nada suaranya agar didengar oleh gerombolan orang tersebut. Dan benar saja, empat insan disana langsung menghentikan kebisingan dan beralih memandang Elysa serta sang ibu.

"Elysa cuma pingsan, ma! Dia bahkan gak perlu dikasih infus sama sekali"

Haruskah kita memberi acungan  jempol pada keberanian Biru?

"Cuma kamu bilang? Pingsan gak bisa disepelein! Bisa aja diduga pingsan, tapi gak bangun berhari-hari. Urusan kesehatan jangan dianggap enteng!"

"Iya, Biru ngerti. Tapi disini kenyataannya Elysa cuma pingsan karena phobia darahnya kambuh. Bahkan sebelum sampai rumah sakit aja dia udah sadar. Jadi Biru pikir, gak perlu sewa ruang VIP buat stabilisasi doang."

"Tapi harus banget berbagi? Sumpek! Mana sama anak lebay, lagi!"

"Ma! Disini Aghamora yang perlu pengawasan lebih! Pingsannya Elysa gak sampe berjam-jam kayak Aghamora. Terlalu lebay aja anaknya!"

Nathan yang sudah tersulut emosi langsung angkat suara. Pemuda itu justru berani membalas ucapan Mitena dengan nada bicara yang agak tinggi dan berdiri menatap manik pekat si wanita.

"Udah berani lancang kamu, ya?! Harusnya kamu sadar, kalau bukan karena anak itu, Elysa gak akan masuk rumah sakit! Berhenti ngebela sampai berani bentak orangtua cuma karena anak itu!"

"Aghamora"

Itu Sorin yang menjawab

"Dia punya nama!"

Pemuda paling tua itu tersenyum miris

"Apa sejijik itu mama sama Mora sampai gak sudi nyebut namanya?"

House Of EightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang