Kindegarten

14 2 0
                                    

Sekitar dua puluh anak kecil berlarian keluar bangunan sekolah begitu bel berbunyi nyaring ke seluruh penjuru. Mereka mengenakan seragam berwarna putih dan biru pastel beserta topi baret pada separuh diantaranya. Agak sulit mempertahankan sebuah topi diatas kepala meski sebagian akan menurut tanpa membantah.

Dengan senyum sumringah, anak-anak itu menghampiri orangtuanya dan langsung menghantam mereka dengan pelukan. Beberapa orang dewasa langsung mengangkat mereka dalam gendongan, bahkan ada yang menerbangkan tubuh anaknya di udara sekilas. Tak sedikit juga anak yang langsung menghampiri kendaraan roda empat di sisi lain halaman. Mereka mengenali mobil milik keluarganya dan langsung masuk begitu saja, sambutan tertutup.

Terlepas dari anak-anak yang merindukan orangtuanya, tetap saja ada anak yang lebih menghargai waktu bersama guru mereka. Setelah gerbang lebih sepi, anak-anak itu baru akan keluar digandeng oleh guru masing-masing. Para pengajar itu bisa saja mengantar sang anak didik sampai pada pelukan orangtuanya atau melepas mereka begitu sampai di gerbang sebab si anak langsung lari begitu melihat orangtuanya.

Salah seorang gadis kecil berjalan dengan santai begitu kerumunan sudah mulai mereda. Ia tidak keluar bersama pengajarnya, ia hanya memiliki jalan pikir terlalu dewasa untuk ukuran anak TK. Sebelum paham dengan jelas, ia lebih dulu menyadari apa dan siapa dirinya. Dan pertanyaan itu membawa pada satu pegangan, percuma mengharapkan orang yang tidak mengharapkanmu.

Gadis itu mengamati sekeliling begitu pandangannya terbebas dari pemandangan lorong dan pintu kaca yang difungsikan sebagai gerbang dalam Taman Kanak-kanak tersebut. Tatapannya terhenti pada dua orang dewasa dengan seorang gadis seumurnya. Tiga wajah yang sangat familier, namun ia tidak berusaha menghampiri mereka sama sekali. Tujuannya hanya untuk memastikan, itu saja.

Gadis itu berdiri terpaku, membiarkan anak lain melewatinya bahkan ada yang—entah sengaja atau tidak—menyenggol bahunya. Ia terhuyung sesaat, namun berhasil mempertahankan keseimbangan dengan menarik satu kaki ke belakang. Tatapannya terkunci pada anak laki-laki itu yang ternyata tengah berlarian menuju orangtuanya. Ia tak bisa marah meski kini terlihat seperti orang linglung. Toh, mayoritas anak ketakutan padanya...atau mungkin tatapan dinginnya.

Gadis itu berdiri disana tanpa ekspresi. Tidak tersenyum, tidak juga terlihat sedih. Tidak ada kekehan miris atau setidaknya air mata yang menggenang. Ia hanya mengamati, mengedarkan pandangan dengan wajah datar. Beberapa menyebutnya "tak kenal ekspresi," tapi julukan itu tidak selalu sesuai. Sebab ketika seseorang menyerukan namanya dari arah depan, gadis itu langsung tersenyum manis.

"Mora!"

Yang dipanggil langsung menghampiri dengan semangat. Bocah laki-laki yang memanggilnya itu membawa sebuah sepeda dengan jok belakang. Si gadis atau Aghamora tanpa dikomando langsung naik ke jok belakang tersebut. Keduanya menyusuri jalanan menjauh dari area halaman sekolah yang tidak aman.

"Abang sembunyi dimana? Kok tadi lama?"

"Iyakah lama? Padahal abang langsung maju lho begitu orang pertama keluar gerbang"

"Tapi Mora nunggu lima belas detik"

"Yeu...emangnya kamu hitung pake apa? Jari?"

"Pake angin"

"Dasar ngawur! Gimana caranya coba hitung detik pake angin?"

"Bisa aja! Tiap kali angin lewat, Mora hitung satu"

"Tapi angin lintas tiap sekon"

"Makanya lima belas"

"Iyadeh terserah"

Keduanya membelah angin di pinggir lajur, menyadari kecepatan kaki membawa beban tambahan. Tapi meski sudah mempertahankan sepeda tetap berada di pinggir—hampir menyentuh trotoar—bunyi klakson dari belakang tetap mengejutkan mereka. Entah apa yang para pemilik kendaraan mesin itu inginkan, jalan yang mereka lalui belum memiliki akses jalur sepeda khusus. Ataukah mereka hanya ingin memamerkan tenaga mesin yang tentunya lebih hebat daripada tenaga manusia?

Sesekali si bocah laki-laki berdiri, ketika bertemu dengan jalanan yang agak menanjak. Tubuh adiknya tidak begitu berat, bahkan cenderung lebih ringan dibanding anak-anak seusia. Tapi berdiri diatas pedal tidak selalu berarti beban yang dibawa sepeda begitu berat.

Dengan waktu tempuh kurang dari sepuluh menit, dua bocah itu sampai di sebuah hunian yang tampak luar cukup megah. Ya, memang bukan sekedar rumah dengan dua kamar jika penghuninya berjumlah sepuluh jiwa. Tapi juga belum cukup besar untuk dikatakan mansion. Intinya, rumah itu lebih mewah dibandingkan rumah-rumah disekitarnya. Jangan lupakan taman berumput di samping dan belakang rumah yang masih berada di dalam kawasan kepemilikan namun dihuni oleh beberapa ekor kelinci putih dan kelabu juga berbagai macam tumbuhan hias. Di sisi lain rumah, terdapat sebuah kolam renang yang hampir sama lebar dengan bangunan dibelakangnya. Meski bangunannya tidak begitu besar, namun tempat tinggal itu terlalu fancy untuk dikatakan sebuah hunian sederhana.

Si bocah laki-laki memasukkan sepedanya ke dalam garasi segera. Kemudian keduanya masuk melalui pintu penghubung dari garasi. Di dalam rumah itu—tepatnya di meja makan, empat bocah laki-laki lain tengah duduk mengelilingi berbagai makanan ringan. Mulai dari macaron hingga pudding tertata rapi diatas meja tersebut.

Melihat itu semua, Mora tanpa berganti seragam terlebih dulu langsung ikut duduk diantara mereka tanpa menunggu komando. Ia tak akan membuang banyak waktu dan meninggalkan makanan begitu saja.

"Banyak banget makanannya! Dapet darimana?"

"Ini anak, bukannya ganti baju dulu sana!" itu Hunter yang bersabda.

"Udahlah biarin aja! Tapi hati-hati makannya, jangan sampe kotor tuh seragam!" peringat Biru bak seorang kakak yang baik.

Mora mengangguk antusias dan langsung mengambil sebutir macaron

"Tadi bibi Maira datang bawa banyak makanan buat kita," jelas Tristan.

"Mama papa tau?" tanya Aghamora.

"Tau, tapi mereka cuma ambil beberapa, terus sisanya suruh kita habisin sebelum Elysa datang," Zayan membantu melengkapi penjelasan kembarannya.

"Gara-gara kebanyakan makan manis makanya sakit gigi," cibir Nathan.

"Biarin aja, karma!" Hunter mendukung.

"Hati-hati, bang! Takut jadi boomerang," peringat Tristan.

"Buat bang Sorin?" kini Aghamora bertingkah sebagai adik yang baik.

"Udah kita taro di kamarnya," jelas Zayan.

Dengan semangat, Mora lanjut mengambil satu demi satu makanan manis yang ada sambil menyimak obrolan kakak-kakaknya. Jika sudah dihadapkan pada camilan, bocah itu akan terlihat seolah lupa akan dunia, namun inderanya masih tetap akan waspada sekitar.

Hingga terdengar suara pintu dibuka tepat sepuluh menit setelah Mora sampai di rumah. Mereka langsung tahu siapa yang datang tanpa perlu melihat secara langsung yang hanya akan dianggap sebagai sambutan. Alih-alih menjawab seruan "kami pulang" dari ruang tamu, keenam bocah itu justru malah dengan santai memasukkan camilan yang tersisa ke dalam mulut.

Seorang wanita menampakkan diri dari balik dinding ruang makan. Ia berjalan mendekat dan berdiri tepat dibelakang bangku yang ditempati Hunter.

"Tadi Han datang ke sekolah Lisa?"

"Iya"

"Udah kangen banget pasti sama adiknya sampe rela gowes sepeda"

Mitena mengusak surai Hunter seolah tidak ada siapapun lagi disana

Iya, tapi adik menurut mama sama menurut Han itu orang yang beda

"Kalau tau gitu, kenapa gak ikut kita aja jemput Lisa?"

Kata siapa Hunter mau jemput Lisa?!

"Kenapa Han tinggalin Biru sama rumah? Kan Han tau sendiri, Biru lagi kurang enak badan. Bukannya dijagain, malah ditinggalin. Kalau terjadi hal yang enggak-enggak gimana?"

"Ma, SD kita belajar di rumah serentak semua kelas, jadi yang ada disini bukan cuma Han sama Biru, tapi ada juga Tristan, Zayan, sama Nathan. Tadi Han pergi buat jemput Mora, bukan Lisa! Sewaktu Han pergi, masih ada Tristan, Zayan, sama Nathan yang jaga Biru di rumah."

Hunter sangat terlihat tidak lagi bisa menahan amarah. Tapi meski begitu, dalam kalimatnya tadi ia masih berusaha menjaga nada suara agar tidak meninggi meski setelahnya ia langsung pergi dari meja makan tanpa mengatakan apapun lagi.

House Of EightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang