Truth

30 2 0
                                    


Noah berjalan lesu memasuki ruang rawat berisi enam bocah lelaki berbeda umur. Semenjak dua hari sebelumnya, terdapat seorang wanita yang tengah hamil besar disana. Tapi sore tadi, bertepatan dengan mentari yang kian bersembunyi dibalik garis cakrawala, wanita itu dibawa ke ruangan lain untuk menjalankan kodratnya. Noah awalnya mengikuti kemana brankar itu pergi setelah memberi pesan pada enam bocah disana agar tetap berada di ruangan itu. Satu hal yang pria itu ingkari adalah bahwa ia akan kembali dengan cepat.

Tepat ketika semburat jingga menguasai langit, erangan kesakitan tak tertahan dari mulut satu-satunya makhluk "cantik" disana. Canda tawa yang sebelumnya masih beterbangan menciptakan kesan hangat di ruangan itu seketika berubah panik. Dengan cepat, pria dewasa disana langsung menekan bel disamping ranjang. Tanpa butuh waktu lama, beberapa tim medis datang, memeriksa kondisi Mitena sebentar kemudian membawa wanita itu pergi beserta brankarnya.

"Istri anda mengalami kontraksi hebat, tampaknya akan segera melahirkan. Kami akan coba tangani di ruang bersalin, anda mohon ikut dengan kami."

Dalam sepersekian detik dan tanpa dibekali penjelasan apapun, ruang rawat itu dikuasai enam bocah lelaki. Tidak ada pasien lain disana karena ruangan itu berada pada barisan eksklusif atau VIP. Itulah mengapa tidak ada siapapun untuk menegur ketika bocah-bocah polos tersebut ribut meminta penjelasan pada yang tertua.

"Mama lagi diobati! Kita jangan bikin mereka khawatir! Tunggu aja disini, papa pasti balik sebentar lagi."

Kenyataannya, mereka tidak menunggu melainkan terperangkap disana hingga matahari tenggelam seutuhnya. Juga menjadi tugas yang tertua disana untuk menidurkan adik-adiknya ketika jarum pendek sudah menunjuk angka delapan. Ketahuilah, membuat anak-anak itu melupakan kekhawatirannya soal atensi kedua orangtua mereka dan beralih tidur bukan suatu perkara mudah namun bocah itu bisa melaluinya. Hanya saja tidak satupun menyadari bahwa kejadian itu bukannya tak akan terulang lagi, justru itu adalah tanda garis kehidupannya dimulai.

Tatkala jam analog menciptakan sebuah sudut siku-siku, pintu ruangan itu akhirnya terbuka menampakkan wujud seorang pria dengan mata sembab. Penampilannya sangat berantakkan, beruntung hanya satu orang yang mendapatkannya malam itu. Si sulung, Sorin yang baru terlelap beberapa menit, dengan insting seorang kakak yang sangat tajam langsung terbangun begitu mendengar suara pintu terbuka.

Noah tertangkap basah. Pria itu tak bisa mengelak akan raut bertanya putranya. Bagaimanapun ia berusaha terlihat kuat dari luar, nyatanya sebagai manusia biasa, Noah tetap luruh dihadapan sang putra. Tangisnya kembali pecah sembari mendekap tubuh mungil Sorin. Seolah mengerti keterpurukan ayahnya, bocah itu tak ikut mencemari suasana. Ia justru bungkam dan menepuk-nepuk pundak sang ayah sampai pria itu merasa lebih tenang.

Setelah lebih kuat, Noah mengangkat kepala dan mengusap air mata di pipinya. Kini ia tak memiliki celah untuk kabur dari tatapan bertanya Sorin. Pria itu mengelus surai sang anak dan mengecup keningnya cukup lama. Ia sadar, Sorin tak ada bedanya dari seorang bocah yang baru menapaki bangku sekolah dasar. Tapi ia juga tahu, Sorin tak sama dengan kanak-kanak seusianya.

Pria itu menghela nafas

"Sorin kakak yang baik. Pangerannya papa harus bisa jagain adek-adeknya."

***

"Bagaimana ini, dokter? Tidak ada pihak keluarga yang datang untuk mengambil bayi ini. Ibunya meninggal ketika melahirkan. Tidak diketahui siapa gerangan ayah dari anak ini. Haruskah kita kirimkan ke panti asuhan saja?"

"Tak perlu, dok! Kalau tidak ada yang mengambilnya, saya akan."

Sorin memejamkan matanya kuat. Dialog terakhir adalah yang paling membuatnya terluka dari sekian kilas balik masa lalu menyakitkan. Ia tak mau kembali kesana, tapi kondisi membuatnya harus. Dalam hati ia berharap tidak akan mendapat karma karena mengumpati orangtuanya.

House Of EightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang