Meja Makan

20 2 0
                                    

Tok...tok...tok...

"Siapa?"

Terdengar sahutan dari balik papan bercat putih tersebut. Sebetulnya ketokan tadi sangat tidak perlu dilakukan. Tradisi tujuh bersaudara adalah mengintip melalui celah kecil yang dibuat sendiri bahkan ketika pemiliknya sedang tidak berada di dalam. Namun terakhir yang pemuda itu lihat bahwa adiknya menenteng handuk navy blue ke dalam kamar mandi di lorong lantai dua. Ia merekamnya dalam memori ketika baru selesai menyiram tanaman di taman samping dan masuk melalui pintu depan. Pemandangan itu ditangkapnya melalui celah tangga. Satu kerugian memiliki tangga lurus tanpa tikungan.

"Ayo makan malem, dek!"

Suara itu, suara yang sudah Aghamora dengar selama satu setengah dekade hidupnya. Bukan suara asing atau suara yang mampu membawa suasana ngeri hingga menaikkan bulu kuduk. Tapi suara bariton halus dengan nada lucu setiap kali kata terlontar dari mulutnya. Perlu dicatat bahwa nada lucu itu hanya legal didengar oleh saudara-saudaranya saja.

"Oh, bang Nathan...hold on, gue nyisir dulu!"

Sekarang mengerti kenapa Nathan membudayakan budaya yang jarang dibudayakan? Tidak masalah jika yang ia hampiri adalah kamar milik salah satu kakaknya. Justru ia biasa melakukannya hanya untuk memancing emosi. Tapi untuk adik kesayangan, Nathan yang paling jahil diantara mereka pun masih mengutamakan privasi.

Nathan bersandar pada tembok disebelah pintu tersebut. Memandang ruangan dihadapannya yang terbuka setengah. Ruangan itu sangat luas dengan kamar mandi dan balkon pribadi. Mungkin luasnya sama dengan luas kamar Nathan ditambah Aghamora. Bahkan jika mereka berdelapan tidur disana, masih banyak space kosong untuk berguling dan menggeliat.

Nathan menghela nafas miris. Jika dibandingkan, kamar Tristan-Zayan atau Hunter-Biru pun masih lebih kecil padahal ditempati oleh dua orang, empat pada saat tertentu. Jangan tanya siapa dua orang lainnya. Dua bungsu dari tujuh seringkali tidak betah dengan terus berada di kamar sendiri. Mungkin hanya kamar Sorin yang hampir menandingi luas kamar Elysa.

Gimana caranya menyalahi nasib tanpa menuduh takdir?

Pintu disebelah Nathan terbuka menampakkan seorang gadis dengan hoodie kuning pucat dan rambut yang masih basah. Gadis itu tersenyum tanpa dosa memperlihatkan deretan giginya. Bahkan mata gadis itu sudah bisa dikatakan menghilang. Tanpa berbicara apapun, Aghamora merentangkan kedua tangannya. Dengan sigap, Nathan membawa sang adik ke dalam gendongan ala koala.

Selama perjalanan, Aghamora terus menyusupkan wajah pada bahu si pemuda, menghirup dalam-dalam aroma lembut sang kakak yang tampaknya juga baru selesai membersihkan diri.

"Mora!"

Itu Zayan yang menyapa dari arah meja makan. Pemuda itu juga melambaikan tangannya membuat Aghamora mau tak mau membalikkan badan.

Nathan menurunkan adiknya tepat disebelah Zayan setelah si pemuda menepuk-nepuk bangku sampingnya. Jangan heran sebab Zayan memang belum bertemu adiknya tersebut seharian ini. Sebetulnya memang sejak sore tadi, Aghamora lebih memilih bersama dunianya di dalam kamar. Jadi jika dijumlah, bukan hanya Zayan yang baru melihat Aghamora pada saat makan malam sekarang. Tapi pagi tadi, Zayan harus berangkat lebih awal sehingga tidak bisa ikut sarapan bersama. Dan ini adalah kali pertama pemuda itu melihat sang adik seharian terakhir.

Satu per satu mengambil posisi mereka di meja makan. Seperti biasa, Mitena mengambilkan nasi untuk Noah dan Elysa. Kemudian giliran Noah yang menuangkan air untuk Elysa dan sang istri.

Aghamora menyaksikan itu semua. Ketika kembali pada realita, ia hendak mengambil centong, namun tangannya kalah cepat dengan Hunter yang langsung menaruh nasi diatas piringnya. Bahkan Biru juga memberi segelas air pada gadis itu.

"Thanks, bang!"

Satu anggukkan samar Aghamora dapat dari para kakaknya sebagai jawaban. Kemudian si kembar Biru-Hunter mengerlingkan mata pada satu sama lain. Perlu diketahui kalau keenam pemuda itu memang peka, namun perlu waktu yang tepat untuk mendapat pengaplikasian.

Kini giliran Elysa yang mengunyah makanan tanpa minat. Gadis itu menarik gelas dengan kesal dan akibatnya, beberapa tetes air jatuh menggenang di meja. Segera ia menepuk Tristan yang berada disebelahnya.

"Kak, tolong ambilin tissue, dong!"

"Padahal kan bisa ambil sendiri, tinggal berdiri dikit"

Meski sambil mendumal, tapi Tristan tetap menyodorkan wadah tissue pada Elysa

"Tristan! Lisa 'kan lagi makan, masa kamu suruh berdiri?" – Noah

"Pa, kotak tissue ada di depan dia! Bahkan condongin badan dikit aja udah bisa raih tissue-nya!" – Tristan

"Tapi kenapa, sih? Bantu adik sendiri aja susah amat!" – Mitena

"Bukan Tristan yang berat tangan, tapi dianya aja yang manja!" – Tristan

"TRISTAN!!" – Noah

"Udahlah pa, gausah ribut! Salahnya Lisa juga bukan jadi Mora. Coba kalo Mora, kak Tristan pasti bakal langsung bantu, sambil senyum pula!" – Elysa

"Ternyata kamu masih belum bisa bedain mana yang manja" – Mitena

"Apa mama udah nemu perbedaan sikap Lisa sama Mora?" – Sorin

"Cuma anak manja yang turun tangga aja mesti digendong!" – Mitena

"Nathan gendong karena Mora masih sakit!" – Nathan

"Sakit darimana kalo makan sebanyak itu?" – Mitena

Noah menghela nafas

"Saya gak nyangka kalian bisa manjain anak sampah kayak dia" – Noah

Muak dengan semua keributan, Aghamora tiba-tiba berdiri menciptakan hening

"Ada perbedaan antara memanjakan dan membela. Satu hal yang perlu papa mama tau, kalian udah salah ngebesarin anak."

Tanpa mengatakan apapun lagi, Aghamora pergi meninggalkan ruang makan. Padahal gadis itu baru makan setengah isi piringnya, tapi keributan tadi sudah melenyapkan seluruh nafsu makannya sejak kebohongan pertama yang Mitena ucapkan. Aghamora hanya berusaha menghabiskan satu centong nasi yang Hunter beri, tidak lebih. Tapi sepertinya Mitena harus mulai memeriksakan matanya secara rutin.

Tak lama, Zayan juga ikut bangkit meninggalkan ruang makan disusul Nathan. Tadinya, Hunter juga hendak bangkit menyusul adik-adiknya andai Sorin tidak menginterupsi.

"Gak ada lagi yang boleh pergi sebelum makanannya habis!"

Suara tegas Sorin mampu membuat sisa aktivitas di meja makan berlangsung dalam hening. Karismanya sebagai anak sulung memang mengantar aura intimidasi bagi adik-adiknya. Sedangkan Noah dan Mitena hanya bungkam sebab tak ada lagi yang bisa mereka pojokkan.

Seseorang membuka pintu ketika Aghamora baru saja memposisikan diri di pinggir tempat tidurnya. Wajah lembut Zayan menyembul dari celah tersebut. Mereka beradu pandang sekilas sebelum Mora kembali menundukkan kepala sementara Zayan duduk disampingnya.

"Udah, omongan mereka gausah diambil hati!"

Tanpa dikomando, Zayan segera menarik sang adik kedalam dekapan, memposisikan kepala Aghamora dibawah dagunya. Biasanya gadis itu akan menenggelamkan wajah mencari kenyamanan atau ketenangan. Tapi tidak kali ini. Bahkan tangannya sama sekali tidak terulur untuk balas mendekap Zayan.

Seseorang kembali membuka pintu yang tidak ditutup rapat oleh Zayan. Pemuda itu langsung masuk dan duduk di sisi lain Aghamora.

"Dek, nih gue ada susu! Jangan kosong banget perut lo! Tadi makan gak banyak 'kan?"

Dengan semangat, Aghamora langsung menyambar susu perisa choco malt tersebut

"Thanks, bang! Tau aja gue belom sempet minum tadi!"

"Gue kira lo gak bales pelukan gue gegara lagi merenungi kesedihan, ternyata merenungi kehausan!"

House Of EightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang