Adaptation

18 4 0
                                    

Jam digital diatas nakas bergetar membuat si empunya yang terlelap menghadap tembok mulai menggeliat berbalik arah. Gadis itu merogoh bagian bawah bantalnya dan mengeluarkan seonggok benda pipih dari sana, alat yang membuat kepalanya bergetar dari alam bawah sadar.

Satu sentuhan cukup untuk membuat alarm ponselnya bergenti, tapi tidak dengan alarm jam digitalnya. Dan untuk mematikan alarm yang satu itu, ia harus sedikit beranjak, setidaknya mengangkat kepala dari buntalan empuk bernama bantal.

Setelah membawa ruangan tersebut dalam kondisi sunyi kembali, gadis itu telentang. Jangan tanya mengapa ia memasang dua alarm di waktu yang sama. Ia hanya menyadari kebenaran dari julukan yang disandangnya, "manusia kerbau."

Tidak, ia tidak mencoba untuk kembali tertidur. Terdapat dua faktor, pertama karena pergerakan kecil namun berpengaruh yang tadi ia lakukan. Kedua, ia sudah menyusun kegiatan apa saja yang akan dilakukan begitu bangun tidur, lebih pagi dari biasanya.

Jika sebelumnya ia bisa bangun tiga puluh menit lebih lambat, maka hari ini bisa dicap sebagai hari baru kehidupannya. Jadi jangan salah, alasan ia kembali telentang adalah untuk mempersiapkan diri menyambut "hari baru" tersebut.

Gadis itu mengucek mata dan meregangkan otot. Setelah merasa cukup hingga hembusan oksigen keluar dari mulutnya, ia bangkit dan melihat sekeliling. Bukannya ia mencoba beradaptasi dengan sekitarnya, tapi ia sedang mengumpulkan nyawa yang berpencar memenuhi seluruh sudut.

Bertemunya telapak kaki dengan lantai menandakan lembaran baru menemui segmen pertamanya. Segera ia keluar dari ruangan yang agak berantakan tersebut.

Untuk menghalau sedih, gadis itu memilih baca ulang komik-komik kesukaannya. Selain itu, ia juga menghabiskan cukup banyak waktu menyelami internet mencari hiburan. Kedua bagian itu ia lakukan diatas tempat tidur. Jadi jangan heran mendapati meja belajar dan kasur lebih berantakan dari biasanya.

Mari tinggalkan dulu goa penuh kenyamanan tersebut. Kini bukan waktunya memperhatikan diri sendiri. Bukan dalam artian relevan dalam kata lain, sebut saja ada kepentingan bersifat bersama dengan tingkat prioritas lebih tinggi.

Hal pertama yang dijumpainya begitu membuka pintu kamar adalah sunyi. Tidak ada tanda-tanda kehidupan dari lantai bawah. Tidak ada bunyi-bunyi pertengkaran dari kamar para abang kembarnya. Tidak ada juga bau-bau ancaman yang akan membuat awal harinya suram.

Tersenyum singkat, gadis itu segera menuju toilet. Biasanya ia harus bergerak tergesa agar bisa lebih dulu mencapai toilet sebelum Nathan. Jika ia kalah cepat, maka jalan ninjanya adalah mendatangi kamar Sorin untuk menumpang mandi. Tapi kini, langkah itu santai, tidak terburu. Bahkan sampai ia menyentuh daun pintu toilet pun, tidak ada seruan kesal atau tanda perlawanan. Gadis itu kembali tersenyum untuk kedua kalinya.

***

Biru terbangun begitu merasakan sumber energi kinetik dari luar kamarnya. Ia meraih ponsel disebelah bantal sekedar untuk melihat jam.

05:50
Siapa yang bangun sepagi ini?

Menyadari sesuatu, Biru yang tadinya hendak melanjutkan tidur langsung membelalak. Pemuda itu bahkan langsung terduduk di kasurnya.

Gak mungkin mama 'kan?

Perlahan, Biru turun dari kasurnya. Sebisa mungkin meminimalisir bunyi, tak ingin adik kembarnya di ranjang atas terbangun begitu saja. Ia tahu kembarannya itu hanya memainkan ponsel hingga lewat larut. Ketika tak sengaja terbangun pada pukul dua karena haus, barulah ia menyadari adiknya sudah berpulang ke alam mimpi.

Berhasil meraih gagang pintu, Biru menariknya sedikit kemudian menoleh pada ranjang saudaranya. Ia tak ingin decitan pintu mengganggu istirahat orang lain. Namun sayang, celah kecil itu membuat aroma nikmat menyusup masuk memenuhi ruangan. Seketika bulu kuduknya meremang, takut akan siapa MVP pagi itu dan takut adiknya terusik.

Tanpa pikir panjang, dibukanya pintu itu lebih lebar. Hanya agar tubuhnya muat untuk keluar dari sana. Tentu dengan sangat hati-hati meski kenyataannya Hunter bukan termasuk spesies yang mudah bangun. Begitu tubuhnya berhasil keluar, dengan cepat Biru menutup rapat pintu kamarnya kembali.

Sesosok gadis dengan piyama dan rambut pendek dicepol yang ditemuinya begitu sampai di stasiun tujuan, dapur. Gadis itu membelakanginya, tampak asyik dengan interaksi bersama penggorengan. Bising spatula bertemu wajan serta aroma sedap menjadi background pemandangan manis itu. Sebuah senyum tulus terukir begitu merasakan desir hangat menyentuh hatinya.

Tak berlalu lama semenjak Biru mulai mengawasi dari ambang pintu dapur, gadis itu sudah bergerak mematikan kompor. Beberapa piring diambil untuk diletakkan diatas pantry terlebih dulu.

Baru berbalik badan, gadis itu sudah terlonjak kaget. Beruntung piring ditangannya tidak terjatuh secara dramatis. Penyebabnya? Tentu saja kehadiran Biru yang tanpa suara dan entah sudah berapa lama.

Menangkap poin lucu dari kejadian tersebut, Biru terkekeh kecil meninggalkan Aghamora yang masih memegangi dadanya. Pemuda itu kemudian berjalan mendekat ketika si gadis kembali melanjutkan pekerjaannya. Sebuah tangan tidak terlalu kekar mendarat di atas kepalanya, mengelus pelan surainya ketika ia mulai menata nasi goreng keatas piring.

"Jam berapa kamu bangun?"

"Setengah enam"

"Dibantu alarm?"

"He'em"

"Buat bikin sarapan?"

"He'em"

Aghamora menurunkan tangan Biru secara tidak langsung sebab ia berbalik badan untuk meletakkan wajan diatas westafel. Setelah mencuci tangan, gadis itu kembali menghadap Biru. Kali ini bukan hanya tatapan hangat atau elusan lembut, tapi Biru langsung menghambur memeluk sang adik yang tidak berniat melawan. Justru gadis itu membalas pelukannya. Saat itulah air matanya meluncur tanpa dikomando.

"Gue tahu, yang sedih disini bukan gue sendiri. Kita semua sama-sama sedih, masih susah percaya. Tapi gue gak nyangka justru lo yang pertama bangkit dari kesedihan itu."

House Of EightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang