Oppose

15 2 0
                                    

Rintik air bertabrakan dengan atap di beberapa daerah. Bulan seharusnya bersinar, namun terhalang oleh awan-awan gelap yang membuat malam semakin pekat. Tidak ada bintang sebagai lampu alami dari langit. Yang ada hanyalah lampu neon putih tergantung di langit-langit kamar Aghamora. Lampu itu memiliki banyak peran bagi seorang gadis yang tengah menyelesaikan soal-soal latihan berbasis angka dan rumus dari pengajarnya.

Kedamaian dengan instrumen alami milik alam adalah isak tangis langit memprediksi pagi dan siang selepas malam berlalu. Nyanyian alam yang dipergunakan sebagai akses penambah konsentrasi. Bukan mengusirnya dengan menggantung airpods atau sambungan bluetooth pada speaker, tapi menikmati bagaimana langit menjerit tanpa memahami artinya.

Jika dirinya adalah gadis dari ruang kamar lain, tentu kini terpajang segelas susu dan mungkin cookies di depan lembar yang tengah dikerjakan. Namun takdir berkata bahwa dirinya adalah seorang pemilik satu-satunya kamar di rumah itu yang tidak memiliki toilet. Satu dari sekian fasilitas yang terabaikan untuknya. Realita berbisik ia harus tetap mempertahankan fokus meski tanpa hidangan dan minuman hangat. Cukup langit yang memutar melodi untuknya.

Ketenangan sederhana, sama sekali bukan nama tengah Aghamora. Tidak ada ketenangan atau kebahagiaan pribadi yang akan bertahan lama. Malam ini, akhir dari kebebasan itu adalah suara decitan pintu membawa cahaya lain dari lorong. Membuat bayangan samar menutupi lembar putih yang tengah dikerjakan.

"Lo gak ada puas-puasnya, ya?"

Tergubris? Sama sekali tidak! Selama fokus Aghamora masih belum melarikan diri, sebaiknya ia cepat menyelesaikan soal-soal dengan tenggat esok hari dihadapannya.

"Gue peringatin, lebih baik lo jauhin kakak-kakak!"

Apakah seruan itu terdengar seperti peringatan? Tentu saja tidak! Satu hal yang perlu dicatat, ketenangan berasal dari dalam diri, tidak bisa sekedar mengandalkan situasi. Dan itulah mengapa Aghamora tetap santai menuliskan angka demi angka diatas lembar yang masih bersih.

"Orang ngomong tuh perhatiin!"

"Emang lo orang?"

Gumaman itu sayangnya bergema ke seluruh sisi ruangan hingga terdengar oleh gadis yang sedari tadi hanya berdiri diambang pintu. Menyulut emosi yang sedari tadi memang berpendar, gadis itu maju hendak bermain dengan tengkorak kepala gadis lain. Namun entah berapa banyak keberuntungan yang digunakan, yang pasti Aghamora berhasil menghindari pukulan tersebut tanpa sekalipun melirik ke belakang. Sampaikan terimakasih pada penghapus karet yang tidak sengaja jatuh tersenggol siku.

Semakin geram, Elysa berdecak keras meski Aghamora tak sedikitpun tergubris karenanya. Gadis berambut sebahu itu justru dibuat semakin fokus pada soal-soal di catatannya.

"Bisa gak sih lo berhenti?"

"Berhenti belajar? Sorry gue gak bisa! Gue gak mau jadi bego kayak lo!"

Elysa menggeram marah

"Kuping lo belom sebego itu buat cari asal suara 'kan?"

Aghamora tidak menggubris atau membalas, ia tetap fokus menunduk dan menjadikan soal matematika sebagai tameng. Namun itu tak lagi berarti apapun begitu Elysa dengan kemarahan yang sudah mencapai titik maksimum tanpa aba-aba menarik surai belakang Aghamora yang memang dibiarkan terurai. Gadis itu baru membasuh rambutnya beberapa menit lalu dan ia tak akan tega untuk merusak mahkotanya hanya karena pengering rambut elektronik. Ia lebih suka membiarkan helai itu kering dengan sendirinya meski memakan waktu lebih lama.

Erangan cukup keras lolos begitu saja dari pita suara sebagai bentuk reflek. Tangannya yang sedari tadi menggenggam pena seketika beralih memegang kepala yang tiba-tiba terasa sakit.

"Gue tanya, bisa gak lo berhenti? Dan karena lo gak jawab, jadi terima aja balasannya!"

Jambakkan itu semakin kuat membawa kepala Aghamora mendongak. Tapi kali ini, tidak ada erangan lain keluar dari bibir itu. Menurutnya, cukup sekali titik lemah gadis itu tersenggol. Untuk kedua kali, biar ringisan pelan saja yang mengambil alih.

Aghamora menyeringai

"Gini ya cara main cewek pecundang, jambak-jambakkan. Kalo lo berani, ayo baku hantam! Jangan cuma bisa ngadu kalo gue ngelawan."

"Lo emang gaada takut-takutnya, ya!"

"Buat apa gue takut sama ancaman cewek lemah kayak lo?"

Aksi saling jambak–ralat, aksi penjambakkan itu terhenti ketika seseorang menginterupsi

"STOP! "

Elysa spontan berbalik masih dengan tangan berada dibelakang kepala Aghamora. Dan itulah mengapa gadis lainnya tak bisa ikut berbalik sekedar memastikan siapa yang datang. Meski begitu, indera pendengar Aghamora cukup tajam untuk mengetahui siapa pemilik suara itu.

"K-kak Zay?"

Itu lirihan Elysa yang terkejut sebab aksinya ketahuan. Tidak, ia tidak takut akan amarah Mitena atau Noah sebab ia tahu mereka tidak akan memarahinya. Tapi ia takut akan berdampak buruk pada image-nya. Yang tidak mau ia terima adalah image buruk yang memang sudah ada pada dirinya disimpan oleh para kakak.

Tanpa pikir panjang, Zayan segera mendekat dan melepaskan jambakkan Elysa yang masih bertahan dibelakang kepala adiknya. Sepertinya gadis itu langsung membatu begitu menyadari siapa yang datang sampai lupa melepaskan cengkraman.

Zayan langsung menyejajarkan tinggi dengan Aghamora yang masih duduk diatas kursi. Tak cukup sampai disitu, ia juga mengelus bagian belakang kepala sang adik.

"Lo gak apa-apa?"

"Santai, cuma jambakkan pengecut doang 'kok!"

Niat Zayan sebetulnya murni hanya reflek dari sisi seorang kakaknya, bukan untuk memanas-manasi Elysa yang masih berada disana. Namun entah kenapa, dendam Elysa bukannya semakin menyusut malah semakin berkobar. Dalam benak, ia sedang memikirkan cara apalagi yang dapat dilakukan untuk melabrak Aghamora meski gadis itu sampai kapanpun tidak akan pernah tergubris.

"Lo gak ada puas-puasnya, ya?"

Persis kalimat pertama yang Elysa lontarkan pada Aghamora

"Kenapa lagi? Masih karena Mora deket sama kita? Ah...ralat, masih karena kita cuma deket sama Mora?"

Yup, tepat menusuk hati!

"Emang salah ya kalo adek pengen deket sama kakaknya?"

Zayan menyeringai

"Lo tuh harusnya bersyukur! Masih ada mama sama papa disamping lo! Sementara Mora gak ada siapapun buat support dia! Jadi jangan tanya kenapa kita bisa sedeket itu sama Mora dan cenderung menjauh dari lo!"

Tanpa aba-aba, Zayan menarik tangan Aghamora agar keluar dari ruangan itu. Ia malas mendengar dalih Elysa yang hanya akan mengasihani dirinya sendiri.

Begitu Zayan dan Mora benar-benar hilang dari pandangan, Elysa sudah tidak tahan untuk tidak meluapkan kekesalannya. Jadi ia menghentak-hentakkan kaki ke lantai sembari mengerang frustasi. Inginnya ia berteriak, namun itu sama saja mengakui bahwa dirinya kalah hari ini.

Masih dengan nafas yang memburu, netranya menangkap rupa meja belajar Aghamora. Tidak jauh berbeda dengan miliknya ketika masih SMP dulu karena memang Mora tidak berganti meja. Lebih tepatnya, tidak mendapat pergantian meja.

Diatas permukaan datar itu, Elysa menangkap bentuk solid pekerjaan rumah yang sedari tadi menjadi tameng Aghamora. Seringai licik terpatri di wajahnya kemudian.

House Of EightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang