Suara air mengalir dari arah dapur. Kali ini bukan salah satu dari empat pemuda kembar pelakunya karena tak satupun dari mereka ikut bergabung di meja makan malam ini. Tristan dan Zayan menjalani masa hukuman mereka ditemani sang kakak Biru dan Hunter.
Sejujurnya sejak awal semua dari tujuh ingin menemani tiga saudara dengan hukuman mereka. Tapi itu akan menghabiskan lebih banyak uang dan pastinya bukan suatu hal baik untuk diprediksi. Noah dan Mitena tak akan segan menjatuhkan hukuman lebih berat sebab diduga memanipulasi saudara-saudara mereka yang lain untuk ikut absen dari meja makan.
Meski bagaimanapun, meja makan tetap hanya terisi setengah dari populasi. Dari hasil memutar botol, Sorin dan Nathan harus tetap bergabung di meja makan sementara yang lain mencari udara segar. Mereka makan diluar tentu saja. Tapi entah kemana lagi anak-anak itu pergi sebab sekarang satu jam sudah berlalu semenjak mereka meninggalkan rumah.
Seharusnya bukan hanya Sorin seorang yang berada disana. Seharusnya bukan hanya Sorin seorang yang mengenakan sarung tangan dan bergelut dengan piring kotor. Andai Nathan tidak segera kabur ke kamarnya begitu selesai merapikan meja dengan dalih akan mengerjakan tugas. Dan Sorin tidak sebodoh itu menyadari tipuannya. Mana ada tugas ketika libur semester?
Otak licik seperti Nathan tentu sudah memperkirakan itu sebelumnya. Ia sudah menyusun skenario, kakaknya itu akan melempar sabun padanya. Itu lebih bagus, bagaimana jika piring yang dilempar? Itulah kenapa Nathan hanya meneriakkannya dari pintu dapur kemudian langsung kabur tanpa menghiraukan umpatan Sorin. Siap-siap saja akan ada yang menggelitik pinggangnya dalam kurun waktu lima menit.
Setidaknya itu yang ada di pikiran Sorin beserta beragam kalimat sayang yang akan ia lontarkan. Itu juga yang tercantum dalam prediksi list Nathan sejak ia mengambil langkah seribu menghindari piring terbang. Tapi jika bukan itu yang digariskan oleh semesta, maka tidak akan pernah terjadi. Karena pada kenyataannya, Mitena datang menghampiri sang putra sulung.
Wanita itu hanya diam disana memperhatikan kinerja Sorin. Meski aneh, tapi ia tak berusaha memikirkan macam-macam. Toh, juga Sorin sudah terasah untuk mencuci piring dengan baik. Terverifikasi sejak Nathan terlahir ke dunia.
Bukan tanpa alasan, tapi sejak itulah tugas babysitter diberhentikan di rumah itu. Sebagai gantinya, Sorin yang menyandang posisi anak sulung harus turun tangan. Salah satu tugasnya tentu saja mencuci botol susu agar bisa dipergunakan kembali. Beruntung Nathan adalah adik kelimanya, jadi ia sudah sering memperhatikan bagaimana para babysitter mencuci botol susu.
Selesai membilas satu gelas terakhir, Mitena tiba-tiba menghela nafas. Mau tidak mau, pergerakan tanpa rencana itu mengundang kekhawatiran di benak Sorin. Ia merasa pekerjaannya sudah dilakukan dengan benar. Tapi meski mengerutkan kening dan sebulir keringat dingin meluncur melalui pelipisnya, pemuda itu tetap melanjutkan pekerjaan dengan mencuci wajan dan alat masak lainnya.
"Kak..."
Oke, pembuluh darah Sorin benar-benar berhenti bekerja sekarang
"Gimana kemarin jalan-jalannya?"
Tak satu oktafpun nada suara wanita itu naikkan. Kejadian langka mendapati Mitena berbicara lembut selain pada sang suami dan Elysa.
"We're having fun "
"Kemana aja kalian pergi?"
Bulu kuduk Sorin meremang sekarang. Pemuda itu reflek menoleh untuk memastikan wanita yang berbicara tanpa nada sinis disampingnya itu banar-benar Mitena.
"Cuma ke taman kok, ma!"
"Gimana bisa kamu yakin kalian having fun cuma dengan jalan-jalan ke taman?"
"Kebahagiaan adek-adek emang sesederhana itu, mama yang jarang sadar"
Tentu kalimat terakhir Sorin katakan hampir menggumam. Namun dengan tipisnya jarak diantara mereka, Mitena tetap mendengarnya. Tapi wanita itu tidak berusaha mengelak sama sekali.
"Kalo kebahagiaan kamu?"
"Lihat mereka bahagia"
Sempat ragu untuk menjawab, pada akhirnya Sorin nekat membuka mulut meski dengan intonasi rendah.
Tanpa disangka, reaksi Mitena sama sekali jauh dari prediksi. Wanita itu justru tersenyum hangat meski kalimat selanjutnya membuat Sorin sangat yakin kalau ia sedang berbicara dengan Mitena.
"Kenapa gak ajak Elysa?"
Pemuda itu menghela nafas
"Bukannya udah Sorin jelasin kemarin? Sorin tau, mama papa bakal bawa Elysa pergi, tapi belum tentu ajak yang lain pergi."
"Bukan karena 'Elysa'?"
Pergerakan Sorin terhenti sekejap
"Harusnya Sorin yang nanya kayak gitu. Kenapa mama papa lebih peduli sama Elysa? Karena dia 'Elysa'?"
Sebelah tangan Mitena mendarat di bahu Sorin
"Kamu tahu siapa dia, Sorin!"
"Itu 'kan menurut mama"
"Maksud kamu?"
Sorin melepaskan sarung tangan. Ia sudah selesai mencuci omong-omong.
"Elysa emangnya kemana?"
"Dia udah tidur"
Si pemuda mengangguk sekali kemudian berbalik menghadap sang ibu.
"Menurut mama, cuma Sorin yang tau siapa Lisa sebenarnya"
Pemuda itu tersenyum sinis
"Mama papa terlalu sibuk ngurus Elysa, merhatiin Elysa, peduliin Elysa, sampai-sampai lupa masih ada kita. Saking hampir gak pernahnya kita dapat perhatian sampai mama gak tau kalo kita udah tau."
Mitena melangkah semakin mendekati Sorin
"Apa maksud kamu? Siapa kita yang kamu maksud, hah?"
"Memangnya siapa lagi? Keluarga kita terbelah dua karena Elysa! GARA-GARA ELYSA! KARENA DIA 'ELYSA'!"
Mitena mengangkat sebelah tangannya, hampir menampar Sorin andai ia tak bisa mengendalikan diri.
"Kenapa? Kok berhenti? TAMPAR SORIN BUAT ELYSA!"
"STOP SALAHIN ELYSA KARENA DIA 'ELYSA'! Yang seharusnya disalahin disini adik kamu, Aghamora!"
"Cuma adik aku?"
Sorin tertawa miris. Air mata di pelupuknya sekuat tenaga ia tahan agar tidak meluruh.
"Yang lain juga adik aku, ma! Mereka semua sama buat aku!"
"Mama gak bilang mereka beda"
"ENGGAK! Tapi sikap mama yang bikin mereka beda. Mama papa biarin mereka jadi bodoh dengan gak kasih tau apa yang seharusnya mereka tau sampai sekarang. Tapi mama tau siapa yang sebenarnya bodoh?"
Mata Mitena tak kalah berkaca-kaca dengan Sorin sejak tadi. Mereka berdua seolah sedang dalam perlombaan "siapa menahan air mata paling lama."
"Kalian! Kalian gak sadar kalau kita udah tau sejak lama. KALIAN GAK SADAR KALAU KITA UDAH TAU AGHAMORA BUKAN SAUDARA KANDUNG KITA!"
"Mora bukan saudara kandung kita?!"
Suara terkejut itu berasal dari arah tangga. Dan betul saja ketakutan mereka dari awal, Elysa kini berdiri diujung tangga dengan ekspresi menuntut penjelasan. Ketika gadis itu akhirnya sampai diantara keduanya, Mitena langsung menghapus air mata yang pada akhirnya berhasil luruh sementara Sorin menyilangkan tangan di depan dada.
"Sayang, belum tidur?"
"Ma, apa maksudnya tadi?"
"Besok mama jelasin ya, sayang!"
"Gak mau besok! Lisa maunya sekarang!"
"Sekarang udah malem, sayang! Kamu jangan jadi bandel kayak saudara-saudara kamu yang belum pulang sampai sekarang!"
Mendengar adik-adiknya menjadi tolak ukur, reflek Sorin menoleh dan menatap ganas Mitena. Sementara yang ditatap balas melotot nyalang. Namun pada akhirnya, dua perempuan itu kembali naik ke lantai dua meninggalkan Sorin sendiri dalam tangisnya. Ya, sendiri...sebab satu insan yang sedari tadi menyimak perdebatan itu hanya berani menguping dari balik tembok ruang tengah.
KAMU SEDANG MEMBACA
House Of Eight
Teen FictionLo udah punya apa yang enggak mungkin gue punya, masih juga mau rebut apa yang gue punya? [Aghamora × abangs || Elysa × parents] Menyephobic dan uwuphobic dilarang datang ⛔ Harsh word bertebaran❕❗ 1 chapter = 800-1800 word